KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN
IPA
Makalah
Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Prof.
Dr. Marsigit M.A,
Th.
2012/2013
Disusun
oleh:
Raden
Roro Yayuk Srirahayu, S.Pd.
PSn
Kelas D
NIM.
12708251070
KONSENTRASI
PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013
DAFTAR ISI
Halaman
Judul ......................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................ ii
Bab I PENDAHULUAN ............................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Hakekat IPA dan Pembelajaran IPA ...............….…….. 3
B. Pembelajaran Konstruktivisme ………..…….…………. 5
C. Kontruktivisme dalam Pembelajaran
IPA ………..……. 8
BAB III KESIMPULAN ………………………….………..………….. 12
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………….……………. 13
BAB
I
PENDAHULUAN
IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang
fenomena alam semesta dengan gejala dan persoalannya secara sistematis Hakekat
pembelajaran IPA bukan hanya penguasaan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep, atau prinsip-prinsip IPA tetapi menekankan pada pemberian
pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi memahami alam sekitar secara
ilmiah melalui proses penemuan (inquiry).
Setelah belajar IPA siswa diharapkan dapat mempelajari diri sendiri dan alam
sekitar, serta dapat menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari sehingga
memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar.
Konstruktivisme
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahun kita
adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh merupakan hasil dari suatu konstruksi
kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema,
kategori, konsep, dan stuktur pengetahuan dan membangun pengetahuan. Pengetahuan
tidak lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang
dikonstruksikan dari pengalaman. Proses
pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu
pemahaman yang baru (Suparno, Paul, 1997).
Cara
pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap
kebermaknaan pengalaman belajar bagi para siswa. Pengalaman belajar yang
berorientasi pada persoalan-persoalan di dunia nyata di lingkungan pesaerta
didik akan meningkatkan kompetensi siswa dalam memecahkan masalah dan kehidupan
dan menghasilkan kebulatan pandangan dan pengetahuan tentang dunia nyata dan
kehidupan. Pembelajaran
hendaknya menggunakan pendekatan yang melibatkan siswa untuk memecahkan
masalah dalam dunia nyata melalui
tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan
yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan
untuk memecahkan masalah tersebut (life
skills).
Siswa adalah peserta yang aktif dan
berperan sebagai subjek belajar. Pembelajaran yang bertitik tolak pada
pandangan bahwa siswa diajar dan guru mengajar harus berubah ke pandangan bahwa
siswa belajar. Sekolah merupakan tempat dan kesempatan belajar untuk belajar
bagi siswa. Kegiatan belajar adalah kegiatan sepanjang hayat, sehingga siswa
mempelajari berbagai hal terus-menerus sepanjang perjalanan hidupnya, serta
tidak terhenti pada saat siswa tamat sekolah. Oleh karena itu, kegiatan di
sekolah adalah kegiatan pembelajaran. Siswa belajar, saling belajar, bukan
hanya dari guru melainkan juga dari teman-teman satu kelas, teman satu sekolah,
dan dari berbagai sumber belajar yang lain (lingkungan, media cetak, dan media
elektronik).
Siswa sebagai subyek belajar akan
belajar dengan baik jika yang dipelajarinya merupakan kaitan antara
pengetahuan, kegiatan yang telah diketahuinya dan peristiwa atau persoalan yang
terjadi di sekellilingnya. Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, guru
harus mengaitkan materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
di sekeliling siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang diperoleh dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari. Upaya guru membantu
siswa tersebut dilakukan melalui pendekatan yang disebut pembelajaran
kontekstual. Pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan
pengalaman atau dunia nyata (real world
learning), berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif ,
kritis, kreatif, memecahkan masalah, proses belajar menyenangkan, mengasyikkan,
tidak membosankan (joyfull and quantum
learning), dan menggunakan berbagai sumber belajar
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakekat
IPA dan Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan
Alam merupakan ilmu pengetahuan tentang alam atau mempelajari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
IPA sebagai Sains merupakan
proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar,
pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu dan dicirikan oleh
nilai dan sikap ilmiah (Patta Bundu: 2006).
Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan upaya memahami berbagai fenomena alam
secara sistematis. Secara ontologis IPA mempelajari
sebab akibat gejala fenomena alam dan segala aspeknya. IPA memiliki dimensi:
1.
Sikap
ilmiah (sientific attitude): berupa
nilai yang melekat pada IPA seperti rasa ingin tahu tentang fenomena alam serta
hubungan sebab akibat yang timbul, kejujuran, keterbukaan
2.
Proses
ilmiah (scientific process): prosedur
pemecahan masalah melalui metode ilmiah
3.
Produk
ilmiah (scientific product): berupa
fakta, konsep, teori, prinsip, hukum
4.
Aplikasi:
penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari
5.
Kreativitas:
berhubungan dengan ide baru atau cara yang tidak biasa dalam menggambarkan dan
memanfaatkan produk IPA serta kegiatan pemecahan masalah.
Secara
epistemologis IPA dapat diperoleh secara induktif dan deduktif melalui proses
metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi
merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penyelidikan, mengumpulkan dan
menganalisis data, serta menarik kesimpulan (Kementerian Pendidikan Nasional,
2011).
Pembelajaran IPA
tidak sekedar transfer produk ilmiah berupa konsep, teori, dan hukum,
melainkan harus melatihkan berbagai ketrampilan proses ilmiah dan harus
menumbuhkan nilai-nilai ilmiah.
Pembelajaran IPA harus mampu membangun intuisi, dan membelajarkan siswa
untuk berpikir logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan
kehidupan nyata.
Agar siswa mampu membangun intuisi, berpikir logis,
kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata maka
Pembelajaran IPA harus dilakukan melalui proses penemuan
(scientific inquiry) dan siswa harus diberi kesempatan untuk membangun sendiri
pengetahuannya (konstruktivisme).
Pembelajaran IPA harus memberikan pengalaman belajar secara langsung dan
mengembangkan keterampilan proses, sikap ilmiah maupun kreativitas.
Pengalaman-pengalaman
belajar IPA yang dilakukan melalui kegiatan inkuiri ilmiah (scientific
inquiry) yang komprehensif akan membantu siswa membangun dan memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam. Pengalaman belajar dikembangkan melalui
penerapan konsep IPA yang diwarnai metode ilmiah, sikap ilmiah, dan komunikasi
ilmiah.
Pendekatan yang
diterapkan dalam menyajikan pembelajaran IPA
adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk
sains dalam bentuk pengalaman langsung. Perbaikan pembelajaran yang diperlukan saat
ini yaitu pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dengan cara
mengaitkan materi IPA dengan kehidupan sehari-hari siswa. Oleh karena itu, guru
dituntut memahami sepenuhnya materi yang
akan diajarkan dan memilih pendekatan dan penggunaan metode pembelajaran yang
tepat.
B. Pembelajaran Kontruktivisme
Kenyataan
atau realitas terdiri dari dimensi
eksternal dan internal. Dimensi eksternal menunjuk kepada dimensi objektif,
sedangkan dimensi internal menunjuk kepada dimensi subjektif. Paham Rasionalisme
menyatakan bahwa pengetahuan kita menunjuk kepada objek-objek dan bahwa
kebenaran itu merupakan akibat dari proses deduksi. Para rasionalisme lebih menekankan rasio,
logika, dan pengetahuan deduktif. Tokoh
Rasionalisme adalah Plato dan Rene Decrates.
Risalah Decrates tentang Hukum-hukum
bagi Pengarahan Pemikiran (Rules for the Direction of the Mind) menurut Paul
Strathern (2001:26-27) adalah:
“Agar
kita mampu menemukan ilmu pengetahuan yang universal, pertama-tama kita harus
menerapkan sebuah metode untuk berpikir dengan tepat. Metode ini terdiri dari
dua hokum mengenai operasi mental: intuisi dan dedukasi. Intuisi didefinisikan
Descrates sebagai sebuah konsepsi, yang tak memiliki keraguan, sebuah pikiran
yang atentif dan tak tersamarkan, yang dibentuk oleh penerangan nalar semata.
Sedangkan deduksi didefinisikan sebagai penarikan kesimpulan yang diperoleh
dari fakta-fakta lain yang telah diketahui kepastiannya. Descrates
mengungkapkan metode, yang dikenal sebagai Metode Cartesian, yang dilandaskan
pada aplikasi yang tepat dari kedua hukum pemikiran ini.”
Paham
Empirisisme menyatakan bahwa pengetahuan kita menunjuk kepada objek-objek
tetapi menggunakan penalaran induktif dengan bukti-bukti berdasarkan
pengalaman. Kaum empiris lebih menekankan pengalaman dan pengetahuan induktif. Empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan
diturunkan dari pengalaman indrawi, sumber terpenting dari pengetahuan adalah
dunia luar (dimensi eksternal). Esensi pengetahuan adalah representasi dari
dunia luar yang diperoleh terutama dari observasi atau dari alam semesta. Tokoh empirisme adalah Aristoteles, Berkeley,
Hume, dan Locke.
Konstruktivisme dapat dianggap merupakan sintesis
pandangan rasionalis dan empiris. Konstruktivisme
menunjukkan interaksi antara subjek dan objek, antara realitas eksternal dan internal. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan
itu sumbernya berasal dari luar tetapi dikonstruksikan dari dalam diri
seseorang. Bagi konstruktivisme,
pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adaalah suatu
kerangka untuk mengerti bagaimana seseorang mengorganisasikan pengalaman.
Pelopor besar dari teori konstruktivis dalam
proses belajar adalah Jean Piaget. Piaget
percaya bahwa setiap makhluk hidup perlu beradaptasi dan mengorganisasi
lingkungan fisik di sekitarnya agar tetap hidup. Perkembangan pemikiran juga
mirip dengan perkembangan biologis, yaitu adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas,
seperti organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya.
Konstruktivisme
menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah dibangun oleh para ilmuwan dan tidak
ditemukan dari dunia. Konstruktivis berpendapat bahwa konsep-konsep ilmu
pengetahuan merupakan konstruksi mental dari pengalaman indrawi. Prinsip lain yang penting dari teori
Konstruktivisme adalah bahwa tidak ada metodologi yang berlaku tunggal dalam
ilmu pengetahuan, melainkan beragam metode.
Konstruktivisme berpandangan
bahwa realitas tidak tergantung pada pemikiran manusia, namun makna atau
pengetahuan selalu merupakan hasil konstruksi manusia(http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivist_epistemolog).
Konstruktivisme menjelaskan bagaimana manusia
membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitarnya melalui
pengenalan terhadap dunia di sekitarnya
yang direfleksikan melalui pengalaman.
Teori Belajar Konstruktivisme memandang bahwa belajar adalah membangun
pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya.
Pengetahuan itu
bukan suatu fakta yang tinggal ditemukan, tetapi merupakan suatu perumusan yang
diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Pengetahuan merupakan suatu
konstruksi orang yang mempelajarinya. Orang harus menciptakan pengetahuannya
sendiri dalam pikirannya.
Pengertian dan pengetahuan dibentuk
sendiri oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru
mereka. Belajar adalah kegiatan aktif
siswa untuk membentuk pengetahuan. Proses
pembelajaran harus menekankan peranan siswa
dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai
fasilitator yang membantu keaktifan siswa tersebut dalam pembentukan
pengetahuannya. Pengetahuan siswa
merupakan proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang
dan berubah dan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Pengetahuan itu
dibentuk oleh struktur konsepsi siswa sewaktu berinteraksi dengan
lingkungannya. Tanpa pengalaman siswa
tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman meliputi pengalaman fisik,
pengalaman kognitif dan pengalaman mental.
Pembelajaran konstruktivis didasarkan
pada teori belajar konstruktivis, pada keyakinan bahwa pembelajaran terjadi
jika peserta didik secara aktif terlibat dalam proses konstruksi makna dan
pengetahuan bukan hanya pasif menerima informasi. Pembelajaran
konstruktivis menumbuhkan pemikiran kritis, dan membuat peserta didik
termotivasi dan independen. Konstruktivis menunjukkan bahwa pembelajaran
lebih efektif bila siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar daripada
mencoba untuk menerima pengetahuan secara pasif. Metode konstruktivis
bergantung pada beberapa bentuk penemuan terbimbing di mana guru menghindari
instruksi langsung melainkan berupaya untuk memimpin siswa melalui pertanyaan
dan kegiatan untuk menemukan, berdiskusi, menghargai, dan verbalisasi
pengetahuan (http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivist_teaching_methods) .
C. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
IPA
Pembelajaran
merupakan proses yang disadari dan melalui proses. Definisi pembelajaran menurut Rudi Susilana
(2007:1) adalah:
“Pembelajaran
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh
pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai
sumber untuk belajar. Pembelajaran dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa
sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator. “
Pembelajaran
harus membuat siswa merasa bahwa dirinya sedang belajar, dan dalam dirinya
timbul motivasi-motivasi untuk memiliki pengetahuan yang diharapkan. Pengetahuan yang diperoleh siswa harus
bersifat permanen dan tidak diperoleh secara spontanitas dan instan, namun bertahap. Pembelajaran berlangsung melalui alat indra
kita, yaitu: penglihatan (visual),
pendengaran (auditory), pembauan (olfactory), rasa atau pengecap (taste), dan sentuhan (tactile). Dalam proses pembelajaran tidak hanya
melibatkan penguasaan fakta atau konsep sesuatu bidang ilmu saja, tetapi juga
melibatkan perasaan-perasaan yang berkaitan dengan emosi, kasih sayang, benci,
hasrat, dan kerohanian. Pembelajaran
merupakan proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui pengalaman siswa
(Mohammad Asrori, 2007).
Pemahaman dan
struktur kognitif dapat diperoleh siswa melalui pengalaman melakukan suatu
kegiatan, “learning by doing-yaitu
belajar dengan jalan melakukan suatu kegiatan”. Kemauan dan dorongan untuk
melakukan kegiatan yang dapat memberi pengalaman belajar untuk mencapai
pemahaman sebaiknya muncul dari dalam diri siswa. Kemauan dan dorongan dapat pula
disebabkan oleh rangsangan dari luar. Dalam proses pembelajaran, rangsangan
dapat ditimbulkan oleh guru, dengan cara menyediakan suatu materi pembelajaran
yang bersifat problematik, atau proses pembelajaran yang mengandung
permasalahan yang menuntut upaya menemukan pemecahan malalui suatu proses
pencarian dan penemuan (inquiry). Hal ini sejalan dengan penelitian Gardner
yang menguak rumpun kecerdasan manusia.
Gardner menjelaskan kecerdasaan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia. kemampuan untuk menghasilkan
persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan dan kemampuan untuk menciptakan
sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya
seseorang (Linda Campbell, Bruce Campbell, Dee Dickinson, 2006).
Pengalaman siswa
sangat membatasi perkembangan pembentukan (konstruksi) pengetahuan. Pengalaman terhadap fenomena yang baru akan
menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan. Dalam bidang IPA peranan pengalaman melalui
penemuan dan percobaan-percobaan sangat berperan dalam perkembangan konsep, hukum,
dan teori IPA.
Dalam proses
pembelajaran terjadi interaksi antara berbagai komponen pembelajaran yaitu
guru, isi atau materi pembelajaran, dan siswa, dan melibatkan sarana prasarana,
metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar.
Berdasarkan kerucut pengalaman Dale, pengalaman belajar
yang paling tinggi nilainya adalah direct
purposeful experience, yaitu pengalaman yang diperoleh dari hasil kontak
langsung dengan lingkungan, obyek, binatang, manusia, dan sebagainya, dengan
cara melakukan perbuatan langsung.
Berdasarkan pengalaman belajar yang diungkapkan oleh Peter Shea, maka
siswa belajar 10% dari apa yang siswa baca, 20% dari apa yang siswa dengar, 30%
dari apa yang siswa lihat, 50% dari apa yang siswa lihat dan dengar, 70% dari
apa yang siswa katakan, dan 90% dari apa yang siswa katakan dan lakukan. Oleh karena itu, agar pembelajaran dapat
memberikan pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa, perlu dipikirkan
bentuk-bentuk media pembelajaran tertentu yang dapat membawa siswa kepada
pengalaman belajar yang lebih konkrit dan mencapai hasil belajar yang
diharapkan (Sumiati, Asra, 2007).
Pendekatan
kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran bersifat interaktif dan berpusat
pada siswa. Peran guru menyediakan dan memperkaya
pengalaman belajar siswa, memfasilitasi proses
pembelajaran di mana siswa didorong untuk bertanggung jawab, berpikir kritis
dan mandiri. Guru memberikan pengalaman
kepada siswa yang memungkinkan siswa untuk berhipotesis, memprediksi,
memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, melakukan penelitian, melakukan
investigasi, dan menciptakan.
Penerapan pembelajaran kontekstual pada pembelajaran IPA
melibatkan konstruktivisme dan proses menemukan (inqury). Pembelajaran IPA tidak sekedar transfer produk ilmiah berupa
konsep, teori, dan hukum, melainkan harus melatihkan berbagai ketrampilan
proses ilmiah dan harus menumbuhkan nilai-nilai ilmiah. Pembelajaran IPA harus mampu menyediakan
pengalaman yang membelajarkan siswa untuk membangun intuisi, berpikir logis,
kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata. Guru harus mendesain proses
pembelajaran IPA melalui
proses penemuan (scientific inquiry) dan siswa harus diberi
kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya (konstruktivisme). Pembelajaran IPA harus memberikan pengalaman
belajar secara langsung
Guru dapat
merancang proses pembelajaran yang memberikan pengalaman konkrit bagi siswa dan
mengembangkan keterampilan proses, sikap ilmiah maupun kreativitas. Hal ini sesuai dengan pendapat David A.
Jacobsen, Paul Eggen, dan Donald Kauchak
(2009) yang menyatakan bahwa
peran terpenting guru sebagai pendidik professional adalah memfasilitasi perolehan
pengetahuan, peningkatan sosial dan intelektual siswa.
Guru dapat
menggunakan berbagai metode pembelajaran, teknik dan pendekatan pembelajaran
untuk membantu siswa memahami relevansi materi pembelajaran yang dipelajarinya
dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan apa yang
dipelajarinya di kelas. Guru perlu
mempertimbangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang
dikembangkan.
Hasil belajar
siswa akan optimal jika guru membuat perencanaan pembelajaran, penilaian, alokasi
waktu, jenis penugasan, dan batas akhir suatu tugas. Penilaian yang
dikembangkan dalam pembelajaran konstruktivisme tidak hanya mementingkan produk
tetapi juga menilai proses. Penilaian
yang seharusnya dikembangkan adalah portofolio dan penilaian alternative.
Berbagai bentuk
pembelajaran konstruktivistik dalam pembelajaran IPA dapat dikembangkan, antara
lain:
1.
Eksperimentasi: siswa secara individu melakukan
percobaan dan berdiskusi bersama-sama membahas hasilnya di kelas
2.
Proyek penelitian: siswa melakukan penelitian
topik tertentu dan mempresentasikan temuan mereka di depan kelas.
3.
Kunjungan lapangan: siswa melakukan kunjungan
lapangan dan mengaitkan konsep dan ide-ide yang diperoleh di dalam kelas ke
dalam konteks dunia nyata
4.
Pembelajaran online dalam bentuk forum diskusi,
wiki dan blog yang memungkinkan siswa untuk secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan.
Dengan
pembelajaran konstruktivisme, siswa mengaktualisasikan esensi dirinya dan
merasakan proses reflektif berpikir
seperti yang diungkapkan oleh filsuf Descartes “Cogito ergo sum (aku berpikir,
maka aku ada)”
Peran
masyarakat dalam pendidikan menurut
Hegel dalam bukunya The Philosophy of Right yang dikutip Paul Strathern (2001:63) adalah:
“Sebagai suatu
bentuk keluarga universal, masyarakat madani memiliki hak dan kewajiban untuk
melaksanakan supervisi dalam mempengaruhi pendidikan, sebab pendidikan mengolah
kemampuan seorang anak untuk manjadi anggota masyarakat. “
Membelajarkan
siswa secara konstruktivistik merupakan sunnatullah dan jika diniatkan ibadah berlandaskan konsep
moral pemberdayaan masyarakat dan diamalkan menjadi amalan baik maka semoga
Allah menambahkan pahala yang berlipat-ganda. Amin.
BAB
III
KESIMPULAN
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan upaya
memahami berbagai fenomena alam secara sistematis. Pembelajaran IPA harus mampu membangun
intuisi, dan membelajarkan siswa untuk berpikir logis, kritis, kreatif, dan
mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata.
Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan
ilmiah dibangun melalui konstruksi mental dari pengalaman indrawi. Teori
Belajar Konstruktivisme memandang bahwa belajar adalah membangun pengetahuan
baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan pembelajaran terjadi jika peserta didik
secara aktif terlibat dalam proses konstruksi makna dan pengetahuan
Proses pembelajaran di sekolah
harus mengutamakan dan memfasilitasi peran aktif siswa. Pembelajaran harus meningkatkan kemampuan
siswa dalam berpikir mengenai berbagai
informasi dan melibatkan diri mereka dalam pemecahan masalah yang nyata. Aktivitas pembelajaran yang konstruktivistik dapat
melibatkan siswa membangun sendiri pengetahuannya dan pembelajaran menjadi
pengalaman seumur hidup yang berkelanjutan.
Siswa dapat aktif berinteraksi dengan dunia luar yang luas untuk
memecahkan masalah-masalah nyata yang terus-menerus muncul, mampu hidup
bertoleransi dan hidup secara harmonis di masyarakat (life skills and learning to
life together)
DAFTAR PUSTAKA
_____. 2011. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA secara
Terpadu. Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional.
Dakir. 2004. Perencanaan Dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
David A. Jacobsen, Paul Eggen,
Donald Kauchak. 2009. Methods for
Teaching Metode-Metode Pengajaran Meningkatkan belajar siswa TK-SMA.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Linda Campbell, Bruce Campbell,
Dee Dickinson. 2006. Metode Praktis
Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
Mohammad Asrori. 2007. Psikologi Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
Muhadjir,
Noeng. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Rakesarasin.
Muhadjir,
Noeng. 2003. Filsafat Islam Telaah
Fungsional. Yogyakarta: Rakesarasin.
Pannen,
Paulina, dkk. 2001. Konstruktivisme dalam
Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Patta
Bundu. 2006. Penilaian Keterampilan
Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains-SD. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Paul Strathern. 2001. 90 Menit Bersama Hegel. Jakarta:
Erlangga.
Paul Strathern. 2001. 90 Menit Bersama Descartes. Jakarta:
Erlangga.
Rudi Susilana, Cepi Riyani. 2007. Media Pembelajaran. Bandung: CV Wacana
Prima
Sumiati, Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana
Prima
Suparno,
Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
http://powermathematics.blogspot.com/2012/11/traditional-innovative-teaching-oleh.htmlhttp://www.discover.tased.edu.au/sose/essay.htm
Ass comment nya ditambah bu. Hingga tg 20 Jan 2013 comment Ibu kira-kira mencapai 242. Masih ada waktu 1 (minggu). Wss
BalasHapusTerimakasih pak, atas informasi penting ini. Semoga saya bisa mengejar ketinggalan saya. Amin
Hapus