Pages

Senin, 17 Desember 2012


BELAJAR ADALAH MEMBANGUN HIDUP

                                                                    REFLEKSI      
KULIAH        :           FILSAFAT ILMU
DOSEN          :           BP. PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL   :           SELASA /11 DESEMBER 2012

Hakekat siswa adalah makhluk yang bersifat hidup, oleh sebab itu siswa adalah subyek belajar yang berusaha untuk membangun hidupnya.  Proses pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru harus diubah menjadi proses pembelajaran yang inovatif . 
Gonjang-ganjing Kurikulum 2013 yang akan digulirkan hendaknya menekankan paradigma pembelajaran inovatif  berupa pembelajaran konstruktivisme  (Constructive Teaching and Learning / CTL) karena secara filosofis sebenar-benar tujuan pendidikan adalah mengembangkan Ketrampilan Hidup (Life Skill)
Pembelajaran konstruktivisme (Constructive Teaching and Learning) membelajarkan siswa untuk membangun hidupnya (mengembangkan Life Skill) karena menekankan hal-hal sebagai berikut:
a.       Pembelajaran bersifat interaktif dan berpusat pada siswa
b.      Siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan berperan sebagai pembangun pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri.
c.       Menggunakan pendekatan ketrampilan proses
d.      Peran guru memfasilitasi proses pembelajaran di mana siswa didorong untuk bertanggung jawab, berpikir kritis dan mandiri
e.       Guru memberikan pengalaman kepada siswa yang memungkinkan mereka untuk berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, melakukan penelitian, melakukan investigasi, membayangkan, dan menciptakan
f.       Guru diberi kebebasan dan keleluasan membuat keputusan untuk meningkatkan dan memperkaya perkembangan siswa

Proses membangun pengetahuan sendiri oleh siswa dalam Pembelajaran konstruktivisme (Constructive Teaching and Learning) dapat digambarkan oleh Bapak Marsigit (gambar di bawah) seperti  pertumbuhan biji menjadi kecambah sampai menghasilkan buah.  Seperti pertumbuhan dan perkembangan biji, maka siswa bersifat aktif, membuka diri dan pikirannya,  secara bertahap memproses dan membangun  sendiri pemahaman dan pengetahuannya  dan akhirnya siswa memperoleh pengetahuan (digambarkan sebagai buah-buah yang dihasilkan).   Proses  memperoleh pengetahuan ini seperti proses biji tumbuh dan berkembang menjadi pohon yang menghasilkan buah.  Demikian halnya dengan siswa, siswa membangun sendiri pemahamannya, pengetahuannya, dan ketrampilannya dan akhirnya siswa terbiasa untuk memahami segala persoalan kehidupan dan mampu memecahkannya dalam rangka membangun hidupnya.

Guru sebagai fasilitator harus merancang kegiatan konstruktivis dalam proses pembelajaran .  Hal-hal yang harus dilakukan adalah:
a.       menentukan tujuan pendidikan
b.      merancang kegiatan yang berarti yang akan membantu siswa untuk mencapai tujuan dan untuk mengeksplorasi dan membangun pengetahuan berdasarkan apa yang mereka baca dan apa yang telah mereka bawa ke aktivitas pembelajaran
c.       mengembangkan metode yang bersifat kontekstual, fleksibel, dinamis dan kreatif
d.      menguji kembali mekanisme pembelajaran yang berbasis konstruktivis


Pembelajaran konstruktivisme menuntut penilaian yang sifatnya menyeluruh dan semata-mata hasil tetapi juga proses sehingga penilaian yang mendasarkan pada UN kurang tepat dilakukan.  Penilaian hendaknya berupa portofolio dan Alternatife Assesment.
Semoga Kurikulum 2013 dan Sistem Pendidikan Nasional  kita mampu membelajarkan siswa untuk memperoleh Ketrampilan Hidup (Life Skill) dan membangun hidupnya.  Amin.


Referensi:
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rakesarasin.
Pannen, Paulina, dkk. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.




Pertanyaan: 
1.      Apakah lingkaran setan dapat kita anggap sebagai infinite regress?
2.      Selama hayat masih dikandung badan, dapatkah kita menyebut proses belajar sebagai infinite regress?


Senin, 03 Desember 2012


HERMENITIKA MENINGKATKAN PROFESIONALISME DIRI UNTUK MENGGAPAI WADAH DAN ISI

                                                                    REFLEKSI      
KULIAH        :           FILSAFAT ILMU
DOSEN          :           BP. PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL   :           SELASA /27 NOPEMBER 2012

Kita di dalam masyarakat memiliki peran dan status tertentu.  Peran, status, tugas, kedudukan dan tanggungjawab yang melekat dalam diri kita merupakan wadah kita.  Wadah kita dapat sebagai guru, sebagai suami atau istri, sebagai mahasiswa, sebagai pengurus organisasi, sebagai anak, sebagai orang tua, dan lain-lain.  Dalam kehidupan ini kita memiliki beberapa wadah sekaligus.  Wadah kita atau peran dan status kita tidak terlepas dari isi atau substansi dari status kita tersebut.
Wadah kita selalu hadir ketika kita mewujudkan isi kita.  Isi harus kita kembangkan untuk membuktikan wadah kita.  Setiap saat diri kita selalu dipertanyakan substansinya.  Substansi ini harus bersifat akuntabel (dapat dipercaya).  Isi atau substansi merupakan perwujudan dari  rasa syukur kita akan wadah kita yang memotivasi kita untuk berprestasi, untuk menjadi yang terbaik, untuk menghasilkan yang terbaik.  Isi harus kita wujudkan dalam bentuk tindakan dan karya nyata, sebuah prestasi terbaik dalam peran dan status kita.  Sikap dan perbuatan kita harus mencerminkan bahwa kita ingin berprestasi. 
Jika substansi terlalu banyak tetapi wadahnya terlalu kecil maka kita bicara di sembarang tempat.  Misalnya: sebagai guru kita protes pendidikan dan membicarakan persoalan pendidikan dengan tukang becak.  Jika ada wadahnya tetapi kurang substansi maka wadah kita akan dipertanyakan.  Misalnya: memiliki wadah sebagai professor tetapi selama tiga tahun tidak berkarya, maka akan status sebagai professor akan dipertanyakan apakah benar-benar professor. 
 Dalam setiap peran yang kita mainkan selalu dipertanyakan substansi atau isinya.  Sebagai guru, kita bisa dipercaya ataukah tidak, apa yang telah kita hasilkan, bagaimana cara kita mengajar, bagaimana perilaku dan sikap kita sebagai guru, dan lain-lain.  Demikian juga peran sebagai suami atau istri, sebagai siswa, sebagai dosen, sebagai orang tua, dan lain-lain.  Setiap diri kita adalah wadah dan isi. 
Semua yang ada dan yang mungkin ada memiliki wadah dan isi.  Dalam pembelajaran dan berfilsafat analitik dapat dipandang sebagai wadah dan sintetik dapat dipandang sebagai isi.  Intuisi dan pengalaman kita peroleh melalui sensori motor dan melalui interaksi.  Pengalaman bersifat naik, setelah terbentuk intuisi maka di dalam berpikir kita terbentuk doktrin atau kategori atau prinsip.  Immanuel  Kant membagi dalam 4 kategori yang masing-masing terbagi 3.  Maka melakukan interaksi sangat penting.  Interaksi akan mengembangkan intuisi.  Separoh lebih dunia kita adalah intuisi.  Melalui kegiatan dan interaksi kita akan menemukan intuisi.
Dalam kehidupan sehari-hari, antara wadah dan isi selalu dipertanyakan selalu diuji-uji. .  Kita selalu dimintai pertanggunggungjawaban akan wadah dan isi kita.  Peran dan status kita menuntut kita untuk mengembangkan isi kita.  Wadah selalu hadir ketika kita mewujudkan isi sehingga tak ada batas antara wadah dan isi.  Ada tidaknya wadah kita tergantung bagaimana kita mengisi wadah kita sehingga kita juga dituntut untuk selalu mencari pengalaman dan mengembangkan diri. 
Pengembangan diri memiliki dua sisi yaitu wadah dan substansi.  Sehubungan dengan pengembangan diri maka kemandirian kita penting sekali.  Kemampuan dan kemandirian kita selalu diuji.  Bekerja merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan kemandirian, meraih dunia dan meraih intuisi.  Dalam kehidupan sehari-hari contohnya dalam kehidupan berumah tangga.  Istri sebaiknya bekerja.  Kita tidak cukup hidup dengan dicukupi dengan uang karena sampai meninggal kita pun selalu diuji, substansi atau isi dan wadah kita selalu dipertanyakan.  Banyak istri yang terpuruk setelah suami meninggal mendadak meskipun akhirnya dapat bertahan karena pola kehidupan bangsa kita masih sangat kental kekeluargaan/kekerabatannya dan kegotongroyongannya. 
Salah satu problem pengembangan diri merupakan problem dari membaca.  Maka penting sekali untuk membaca, membaca dan membaca. Orang yang banyak membaca akan membangun intuisi dalam pikirannya dan berpikir kritis dan lebih mudah menghasilkan karya dan prestasi. 
Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri.  Jika kita memiliki kesempatan mengembangkan diri dan kita tidak memanfaatkan kesempatan tersebut maka kita sangat merugi.  Dalam kehidupan kita tidak hanya mengejar wadah tetapi tidak mau mengisinya atau hanya mengejar isi tetapi tidak mengenal wadahnya.  Kualitas isi kita ditentukan oleh seberapa besar usaha kita untuk terus menerus belajar dan mengembangkan diri, untuk terus menerus meningkatkan dimensi kita.  Dan sebaik-baik diri kita jika kita bermanfaat bagi banyak orang, bagi kemaslahatan umat. Jika kita memiliki jabatan atau pekerjaan tertentu atau mengemban amanah tertentu maka kita harus menjalankan pekerjaan dan amanah kita dengan sebaik-baiknya.  Dalam kehidupan kita senantiasa dimintai pertanggungjawaban akan wadah dan isi kita dan kelak di akherat kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Semoga kita dapat mewujudkan wadah dan isi kita sesuai dengan tuntunan Allah dan dapat mempertanggungjawabkannya sebagai wadah dan isi terbaik, baik di dunia maupun di akherat. Amin.

Pertanyaan:  Apa yang dimaksud Berpikir kritis?


Senin, 26 November 2012


PETA PENDIDIKAN PAUL ERNEST
                                                                    REFLEKSI      
KULIAH        :           FILSAFAT ILMU
DOSEN          :           BP. PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL   :           SELASA /20 NOPEMBER 2012

Pada zaman Yunani Kuno, manusia hidup dengan tradisi yang diwarnai dengan mitos-mitos.   Mitos adalah melakukan sesuatu tetapi kita tidak mengerti alasan mengapa kita melakukannya Pada masa anak-anak mitos merupakan setengah dari dunianya.  Sebuah Mitos tidak selalu berarti negatif.   Bagi masyarakat daerah-daerah tertentu di Indonesia terutama daerah Jawa dan Jogja, mitos masih sangat berlaku dan di dalamnya memuat unsur-unsur magis atau mistik.  Mitos  dalam beberapa hal menciptakan budaya peka rasa, sensitif, rasa saling menghargai dan menghormati.  Pada perkembangan budaya Yunani Kuno,  orang-orang Yunani mencoba untuk mematahkan mitos-mitos dan mereka mulai memikirkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya; segala yang ada di luar dirinya yang dikenal dengan filsafat alam.  .
Perkembangan berikutnya, manusia mulai memikirkan mengenai apa itu adil, bijaksana, dan lain-lain. Filsafat kemudian berkembang pada bidang-bidang kehidupan manusia, termasuk ketatanegaraan. Pada abad I, gereja mendominasi pemikiran manusia dan menyatakan diri sebagai penegak kebenaran dan ilmu, dan  terus berlanjut hingga abad XIV.   Gereja berkeyakinan bahwa bumi merupakan pusat tata surya (Geosentris). Di sisi lain muncul Agama Islam di Timur Tengah pada abad V atau VI. Dominasi gereja mulai digoyahkan dengan adanya revolusi Copernicus. Copernicus menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya. Pernyataan ini tentu saja menentang ajaran gereja dan pada akhirnya menimbulkan korban.
Pergolakan yang terjadi di akhir zaman kegelapan telah memberikan kebebasan untuk berpikir tidak hanya dalam bentuk normatif tetapi juga dalam bentuk material. Pada zaman modern, manusia dapat berpikir lebih terbuka sehingga menghasilkan berbagai penemuan-penemuan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan hidup mereka.. Penemuan penting dalam kehidupan manusia adalah ditemukannya mesin uap dan berkembanglah era industrialisasi di Eropa.

Perkembangan industri memunculkan kapitalisme sebagai sang pemegang kekuasaan (power now). Empat sifat  / pilar yang melekat pada era Power Now adalah kapitalis, utilitarian, pragmatis dan berakibat hedonism. Teknologi, ekonomi dan politik menjadi unsur yang tidak bisa dilepaskan dari kapitalisme.
Perkembangan dunia juga memunculkan perubahan dalam filsafat pendidikan  Paul Ernest membuat  peta pendidikan secara umum menjadi 5 dunia pendidikan yaitu:
1.      Dunia pendidikan kaum industrialis/teknologi.  Dalam hal ini pendidikan hanya bertumpu pada keuntungan yang terlihat nyata dan dikerahkan untuk kepentingan industry.  Kurikulum yang dikembangkan di pendidikan dasar hanya mengutamakan baca, tulis, hitung dan menganggap seni tidak penting.  Pendidikan hanya dipandang sebagai body of knowledge dan hasil pendidikan diukur melalui ujian nasional.  Dunia pendidikan kaum industrialis banyak mereduksi mereduksi banyak kebutuhan anak didik dan intuisi tidak dikembangkan.   
2.      Dunia pendidikan kaum Konservatif kerajaan/feodal yang ingin mempertahankan dan mewariskan nilai-nilai lama.
3.      Dunia pendidikan kaum old humanis yang berpusat pada diri manusia dan aspek spiritual dinihilkan (tidak mengakui keberadaan Tuhan)  
4.      Dunia pendidikan kaum progresif yang berorientasi kepada siswa, hasil pendidikan diperoleh melalui portofolio.
5.      Dunia pendidikan kaum socio-constructivist berorientasi kepada sosial dan diri siswa. Pendidikan harus mendorong konstruksi pengetahuan malalui keterlibatan aktif dan interaksi siswa.   Hasil pendidikan diperoleh melalui portofolio.
Pendidikan di dunia dan diIndonesia sangat dipengaruhi oleh 5 ideologi pendidikan yang di kemukakan oleh Paul Ernest tersebut.  Pendidikan sebaiknya berpusat pada siswa dan bersifat konstruktivisme dan sangat penting bagi kita untuk selalu menumbuhkan intuisi dalam diri kita dan juga dalam diri anak didik kita.  
Pertanyaan:  Apa makna dari Referensi Hakekat Berpikir?

Rabu, 14 November 2012


HERMENEUTIKA PEMBELAJARAN SAINS DI ERA GLOBALISASI

TUGAS FILSAFAT
WAWANCARA

KULIAH        :           FILSAFAT ILMU
DOSEN          :           BP. PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL   :           SELASA / 13 NOPEMBER 2012

Rr. Yayuk S:
Sekarang ini, pada saat pelajaran berlangsung banyak murid bermain-main handphone, bahkan mahasiswa S2 juga. Ngomong-omong kita ini hidup di era apa?

Riza Sativani:
Siswa dan mahasiswa bermain handphone di kelas memang sudah bukan hal yang tidak biasa lagi kita lihat. Inilah era teknologi dan globalisasi, suatu cara dan proses dimana begitu banyak tawaran alat-alat yang mampu memberi kemudahan bagi kehidupan manusia. Pengaruh teknologi dari luar tersebut tak mampu kita bendung, bahkan kita senantiasa menganggap teknologi dari segi positif, yakni keuntungannya. Itulah peran globalisasi dalam perkembangan teknologi di seluruh penjuru dunia. Bahkan handphone, tablet pc, ataupun android mampu menawarkan kemudahan berkomunikasi sampai hiburan berupa gaming dan jejaring sosial. Sayangnya, respon masyarakat terhadap globalisasi dan bagaimana penggunaan alat hasil teknologi secara tepat tidak terlihat di masyarakat kita, mereka merespon globalisasi sebagai suatu keharusan untuk senantiasa mengikuti perkembangan zaman, tren ataupun mode, sehingga nampaknya masyarakat lebih berorientasi pada material atau keduniawian, atau bersifat konsumtif. Siswa lebih suka gonta-ganti handphone untuk mengikuti tren atau mode daripada mencari tahu untuk memahami bagaimana mermbuat produk handphone sedemikian inovatif yang bahkan setiap bulan ada merek baru. Masyarakat juga  terkadang tidak mengenal ruang dan waktu dalam menggunakan produk teknologi tersebut. Saat belajar, siswa lebih suka main game di handphonenya atau facebook-an lewat handphone daripada belajar fisika dan matematika mengenai dasar-dasar prinsip pembuatan handphone itu sendiri.

Tanggapan:
Saya setuju, globalisasi menyebabkan masyarakat bersifat konsumtif,

Rr. Yayuk S:
Bagaimana fenomena masyarakat pada era globalisasi?

Riza Sativani:
Fenomena yang  ada di masyarakat lebih nampak pada budaya konsumtif, lebih suka gonta-ganti handphone atau sejenisnya dengan alasan mengikuti perkembangan zaman. Yang ada mereka tidak peka bagaimana teknologi itu bisa dihasilkan, akan tetapi senantiasa menjadikan teknologi suatu hiburan pokok yang harus dimiliki.

Tanggapan:
Saya setuju, globalisasi tidak hanya menyebabkan masyarakat bersifat konsumtif, tetapi juga materialistis dan hedonistis

Rr. Yayuk S:
Murid-murid juga banyak yang fresex. Sebenarnya apa yang mereka kejar?

Riza Sativani:
Mengenai freesex, mungkin karena siswa tersebut tidak mengenal keimanan, belum muncul rasa takut akan Tuhan dan akibat dari freesex itu sendiri, sehingga mereka hanya mengejar kenikmatan dunia yang sementara.

Tanggapan:
Berarti murid-murid tersebut hanya mengejar hedonisme

Rr. Yayuk S:
Padahal freesex bahayanya besar. Iya nggak? Menurutmu bagaimana?

Riza Sativani:
Iya, benar, bahaya freesex sangat besar, bahkan tidak hanya berefek pada yang melakukan, namun lingkungan sosialnya juga. Bahaya freesex bagi pelakunya antara lain:
a.       Kemudahan menularnya penyakit menular sex (PMS), seperti HIV/AIDS, sifilis, gonorrea, dan lain-lain.
b.      Kehilangan masa remajanya, yakni kegagalan dalam mencari jati diri mereka.
c.       Kehilangan keperawanan yang berujung pada terenggutnya masa depannya. 

Tanggapan:
Benar sekali, bahkan banyak yang harus menikah dalam usia dini.  Benar-benar memprihatinkan

Rr. Yayuk S:
Menghadapi murid-murid tersebut gimana seharusnya sikap guru?

Riza Sativani:
Sikap guru seharusnya,
a.       Pendekatan terhadap siswanya, bisa menasehati secara personal, mendengarkan keluhan mereka, dan menawarkan solusi.
b.      Pendekatan orangtua, berkoordinasi dengan orang tua untuk mencari solusi yang tepat. Karena hal tersebut bukan sepenuhnya tanggung jawab guru dalam mendidik.
c.       Melibatkan Bimbingan dan Konseling dalam menangani permasalahan tersebut.
d.      Mengurangi faktor pendorong untuk melakukan hal tersebut yang sekiranya mereka dapatkan di sekolah, misalnya tempat-tempat sekolah yang mendorong siswa melakukan pacaran di situ harus diperhatikan,
e.       Melakukan pendidikan kesehatan reproduksi, tidak hanya terintegrasi dalam mapel biologi kelas XI, akan tetapi bisa didatangkan langsung dokter ahli. 

Tanggapan:
Berarti murid, guru, dan orang tua harus saling terjemah menterjemahkan atau melakukan hermeneutika.  Saya pikir kalau di sekolah tidak mudah menemukan tempat yang mendorong siswa melakukan pacaran.

 Rr. Yayuk S:
Sekarang anak-anak juga lari ke bimbel. Mengapa ya?

Riza Sativani:
Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa lari ke bimbel, diantaranya adalah,
a.       Kesalahan sistem pendidikan kita, yakni keberadaan UAN yang menyebabkan siswa dan guru berorientasi pada materi.
b.      Anggapan siswa bahwa berorientasi pada materi itu sangat baik untuk meraih sebuah prestasi. Mereka lebih suka mengejar nilai daripada skill atau ilmu yang mereka dapatkan. Lebih suka hafalan daripada penguasaan keterampilan.
c.       Kesalahan guru dalam mengajar, dimana guru kurang mampu dalam menyampaikan materi esensial yang termuat dalam SKL. Sehingga muncullah mosi tidak percaya siswa terhadap guru dan siswa lebih suka belajar dengan guru lesnya (tentor), daripada gurunya di sekolah.
Terlepas dari hal tersebut, sebenarnya juga ada dampak positif dari bimbel, yakni siswa meluangkan waktu lebih untuk belajar dan sebagai bahan pendalaman dan pengayaan bagi siswa tersebut.

Tanggapan:
Berarti paradigma pendidikan harus diubah demikian pula cara guru membelajarkan siswa. 

Rr. Yayuk S:
Pembelajaran sains itu sebenarnya bagaimana jika ditinjau secara ontologi, epistemologi, dan aksiologi?

Riza Sativani:
Pembelajaran sains dari segi ontologi:
Pembelajaran adalah proses membelajarkan, membelajarkan adalah mengajarkan bagaimana siswa belajar, membuat siswa mau belajar dan tau bagaimana seharusnya belajar. Jadi pembelajaran sains adalah memgajarkan bagaimana siswa belajar sains.
Pembelajaran sains dari segi epistemologi:
Membelajarkan bagaimana sains itu diperoleh, yakni dengan metode ilmiah. Dengan demikian, pembelajaran sains adalah menerapkan metode ilmiah dalam siswa belajar sains.
Pembelajaran sains dari segi aksiologi:
Manfaat belajar sains antara lain siswa memperoleh:
a.       Pengetahuan bagaimana mempelajari sains.
b.      Internalisasi nilai sains yang sudah melekat pada materi sains itu sendiri.

Tanggapan:
Saya sependapat.  Berarti harus ada proses sains.

Rr. Yayuk S:
Seharusnya proses sains itu bagaimana?

Riza Sativani:
Proses sains seharusnya meliputi lima tujuan sains, yang menjadi orientasi dalam proses sains yakni:
a.       Proses
b.      Produk
c.       Nilai dan sikap ilmiah
d.      Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari
e.       Kreativitas
Proses pembelajaran sains tidak hanya berorientasi pada produk, tapi juga keterampilan. Mampu melakukan transfer knowledge, transfer skill, dan transfer value.

Tanggapan:
Benar, seharusnya bersifat holistik

Rr. Yayuk S:
Apakah secara umum sains sudah diajarkan sesuai hakekatnya?

Riza Sativani:
Saya rasa belum semua guru sains membelajarkan sains berdasarkan hakekatnya. Hakekat sains adalah inquiry ilmiah, dimana siswa seharusnya menemukan konsep itu sendiri dari kegiatan pembelajaran yang disetting guru. Hal tersebut belum banyak dilakukan oleh guru.

Tanggapan:
Benar, seharusnya sintetik a priori

Rr. Yayuk S:
Usaha apa saja yang harus kita lakukan untuk membelajarkan sains?

Riza Sativani:
Tentu ada banyak hal yang harus kita lakukan untuk membelajarkan sains kepada siswa, antara lain:
a.       Karena sains adalah salah satu proses yang menentukan kemajuan teknologi, maka kita harus update ilmu sains dan teknologi tersebut. Selain itu perlu bagi kita menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran.
b.      Mengajarkan sains berorientasi pada 5 hal yang sudah saya sebutkan di atas. Dengan demikian kita tidak terfokus pada produk saja.
c.       Menginternalisasikan nilai-nilai yang melekat pada materi sains. Itulah peran kita dalam pendidikan karakter.
d.      Senantiasa senang melakukan inovasi pembelajaran dan menjadikan kelas sebagai tempat praktikum pembelajaran (PTK).
e.       Mengikuti kegiatan-kegiatan yang mendukung perbaikan proses mengajar kita, misalnya forum MGMP, Seminar Nasional, dan lainnya.

Tanggapan:
Semoga para guru diberi pencerahan, kecerdasan hati dan pikiran untuk menggapai pembelajaran sains yang inovatif.  Amin.