HERMENEUTICS,
PHENOMENOLOGI DAN PENGEMBANGAN INTUISI DALAM PEMBELAJARAN IPA
REFLEKSI
KULIAH : FILSAFAT
ILMU
DOSEN : BP.
PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL : SELASA /15 JANUARI 2013
Disusun
oleh:
Raden
Roro Yayuk Srirahayu, S.Pd.
NIM.
12708251070
KONSENTRASI
PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013
HERMENEUTICS,
PHENOMENOLOGI DAN PENGEMBANGAN INTUISI DALAM PEMBELAJARAN IPA
REFLEKSI
KULIAH : FILSAFAT
ILMU
DOSEN : BP.
PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL : SELASA /15 JANUARI 2015
1.
Hermeneutics
dalam Pembelajaran IPA
Hermeneutika adalah studi tentang
penafsiran teks-teks tertulis, terutama teks dalam bidang sastra, agama dan
hukum. Istilah hermeneutika mencakup seni dan
pemahaman dan interpretasi ekspresi linguistik dan non-linguistik. Hermeneutika
adalah konsep dasar komunikasi yaitu menterjemahkan dan diterjemahkan. Pada abad ke-20, Martin
Heidegger mengalihkan fokus dari interpretasi pemahaman eksistensial
menjadi arti yang lebih otentik untuk mengetahui dan mendalami dunia.
Menurut Noeng Muhadjir (2001) dalam logika hermeneutic
kebenaran dicari dengan menganalisis makna simbolik dengan pembacaan heuristic
atau pembacaan hermeneutic. Pemaknaan
hermeneutic sekarang berkembang ke arah pemaknaan dekonstruksi yaitu pemaknaan
menggunakan berbagai sumber dan mengembangkan pemaknaan baru dna kreatif, tidak
linier dan tidak konvergen.
Hermeneutika secara epistemology adalah mencari
kebenaran dan mencari pemahaman, Hermeneutika pada abad 21 menggunakan
pendekatan studi empiris interaksi serta refleksi atas prosedur penafsiran yang
digunakan dalam penelitian.
IPA merupakan ilmu
pengetahuan tentang alam atau mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di
alam. IPA sebagai Sains merupakan proses kegiatan
mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, pengetahuan yang
diperoleh melalui proses kegiatan tertentu dan dicirikan oleh nilai dan sikap
ilmiah (Patta Bundu: 2006).
Secara
epistemologis IPA dapat diperoleh secara induktif dan deduktif melalui proses
metode ilmiah. Metode ilmiah meliputi
merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penyelidikan, mengumpulkan dan
menganalisis data, serta menarik kesimpulan (Kementerian Pendidikan Nasional,
2011).
Dalam pembelajaran IPA
hermeneutika berupa upaya mendorong atau mengembangkan interaksi. Interaksi yang dikembangkan adalah interaksi
antara subyek belajar dengan alam dan peristiwa yang terjadi di alam melalui proses metode ilmiah. Menurut
Sumiati (2007) siswa merupakan peserta yang aktif. Paradigma pembelajaran harus beralih ke
pandangan bahwa siswa belajar dan pengalaman belajar diperoleh melalui
serangkaian kegiatan aktif untuk mengeksplorasi lingkungan.
Pendekatan yang
diterapkan dalam menyajikan pembelajaran IPA
adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk
sains dalam bentuk pengalaman langsung dan membelajarkan siswa untuk membangun intuisi, berpikir
logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan
nyata.
Guru harus mendesain proses
pembelajaran IPA melalui
proses penemuan (scientific inquiry) yang memungkinkan siswa
berinteraksi dengan alam dan fenomena alam dan membangun sendiri pengetahuannya
(konstruktivisme). Hal ini sesuai dengan
pendapat David A. Jacobsen, dkk
(2009) yang menyatakan bahwa
peran terpenting guru adalah memfasilitasi perolehan pengetahuan, peningkatan
sosial dan intelektual siswa.
Berbagai bentuk pembelajaran
konstruktivistik dalam pembelajaran IPA yang dapat mengembangkan interaksi,
antara lain:
1.
Eksperimentasi: siswa secara individu melakukan
percobaan dan berdiskusi bersama-sama membahas hasilnya di kelas
2.
Proyek penelitian: siswa melakukan penelitian
topik tertentu dan mempresentasikan temuan mereka di depan kelas.
3.
Kunjungan lapangan: siswa melakukan kunjungan
lapangan dan mengaitkan konsep dan ide-ide yang diperoleh di dalam kelas ke
dalam konteks dunia nyata
4.
Pembelajaran online dalam bentuk forum diskusi,
wiki dan blog yang memungkinkan siswa untuk secara aktif mengkonstruksi
pengetahuan.
2.
Phenomenologi
dalam Pembelajaran IPA
Fenomenologi
mempelajari tentang struktur kesadaran yang mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang apa yang
tampak atau penampilan hal (fenomena obyektif).
Hal
mendasar dalam fenomenologi adalah abstraksi dan idealisasi dari fenomena obyek. Struktur utama dari pengalaman adalah
intensionalitas kesadaran yang diarahkan pada obyek (fenomena obyek)
berdasarkan makna obyek. Obyek yang
diamati adalah obyek yang dikenai kesadaran, sedangkan obyek yang luput dari
kesadaran tidak termasuk fenomena. Pengertian atau pemahaman yang diperoleh
dalam mengamati obyek akan sangat bergantung pada sejauhmana intensionalitasnya
dalam pengamatan.
Agar
esensi fenomena obyek tidak terkontaminasi dengan subyektifitas, psikologisme
dan naturalism maka Husserl menggunakan satu prosedur berupa epoche. Epoche adalah penundaan semua asumsi tentang
kenyataan atau mengosongkan diri dari keyakinan tertentu demi memunculkan esensi. Dalam mengeksplorasi kesadaran kita harus
menyingkirkan segala macam keyakinan, dalil, teori, atau pemikiran orang lain
sehingga penilaian terhadap fenomena tidak terkontaminasi. Di dalam epoche kita
tidak meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan semua itu hingga
tuntasnya penyelidikan terhadap suatu fenomena.
Prosedur kedua Husserl adalah eidetic vision (reduksi)
yaitu menyaring fenomena (melakukan abstraksi)
untuk sampai ke eidosnya,
sampai ke intisarinya, atau yang sesejati mungkin (wesen) atau sampai
pada hakekatnya. Agar kita dapat mencapai
hakekat segala sesuatu yang diselidiki (fenomena) maka dibutuhkan
reduksi yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu. Reduksi pertama berupa reduksi fenomenologis
yaitu menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif. Kita harus menyingkirkan
pengalaman-pengalaman agar fenomena bisa masuk ke dalam kesadaran tanpa
terlebih dulu di-judge oleh pengalaman.
Sikap kita harus obyektif dan terbuka terhadap fenomena obyek. Reduksi kedua adalah reduksi eidetis yaitu menyingkirkan
pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dari sumber lain. Kita menyaring segala hal yang yang bukan
inti sari atau hakekat fenomena. Reduksi ketiga adalah reduksi transendenta
berupa menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan.
Fenomenologi
menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya
termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Fenomenologi berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya, atau menurut
penampakannya sendiri.
Dalam
pembelajaran IPA fenomenologi selalu kita gunakan. Misalnya dalam percobaan-percobaan siswa
mengintensikan kesadarannya pada fenomena tertentu saja (melakukan abstraksi)
dan mereduksi penampakan-penampakan yang lain dan memasukkannya ke dalam rumah
epoche. Dalam melakukan percobaan, siswa
melakukan abstraksi yaitu menyaring fenomena-fenomena dan hanya mengambil atau
memperhatikan fenomena yang diperlukan saja.
Misalnya dalam percobaan uji makanan, maka siswa hanya melakukan
pengamatan yang intensif terhadap perubahan warnanya dan melakukan reduksi
terhadap rasa, bau, dan fenomena lain yang tidak perlu. Fenomena yang tidak penting tidak
diperhatikan (direduksi) sehingga diperoleh esensi dari percobaan yang
dilakukan.
Idealisasi
adalah menganggap sempurna sifat yang ada.
Idealisasi dilakukan pada saat siswa harus menuliskan hasil percobaan
untuk menarik suatu kesimpulan atau rumusan misalnya mengenai sifat suatu
zat. Dalam percobaan uji makanan
idealisasi dilakukan pada saat menulis kesimpulan mengenai kandungan zat pada
makanan.
3.
Pengembangan
Intuisi dalam Pembelajaran IPA
Intuisi (wikipedia.org)
adalah istilah untuk
kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan
intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari dunia
lain dan di luar kesadaran.
Intuisi dapat diperoleh melalui kebiasaan dan
pengalaman. Pengalaman kita peroleh
melalui sensori motor dan melalui interaksi.
Pengalaman bersifat naik, setelah terbentuk intuisi maka di dalam
berpikir kita terbentuk doktrin atau kategori atau prinsip. Separoh lebih dunia kita adalah intuisi. Melalui kegiatan dan interaksi kita akan
menemukan intuisi.
Proses
pembelajaran IPA yang dilakukan
melalui proses penemuan (scientific
inquiry) dan metode ilmiah memungkinkan
siswa berinteraksi dengan alam dan fenomena alam dan memberikan pengalaman
langsung kepada siswa. Diperolehnya ilmu
melalui pengalaman menyebabkan siswa dapat mengembangkan intuisi.
Pembelajaran dengan melakukan interaksi dan memberikan
pengalaman langsung terutama dalam pembelajaran IPA sangat penting. Interaksi akan mengembangkan intuisi. Oleh
sebab itu hendaknya pembelajaran IPA dilakukan sesuai hakekatnya dengan
mengembangkan interaksi agar tidak membunuh intuisi siswa.
Pertanyaan:
1. Apakah ada hubungan
antara intuisi dengan doa?
Referensi:
_____.
2011. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA secara Terpadu. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
David
A. Jacobsen, Paul Eggen, Donald Kauchak. 2009. Methods for Teaching Metode-Metode Pengajaran Meningkatkan belajar
siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhadjir, Noeng.
2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Rakesarasin.
Pannen, Paulina,
dkk. 2001. Konstruktivisme dalam
Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Patta Bundu. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap
Ilmiah dalam Pembelajaran Sains-SD. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Sumiati,
Asra. 2007. Metode Pembelajaran.
Bandung: CV Wacana Prima
Suparno, Paul.
1997. Filsafat Konstruktivisme dalam
Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar