Pages

Senin, 21 Januari 2013


HERMENEUTICS, PHENOMENOLOGI DAN PENGEMBANGAN INTUISI DALAM PEMBELAJARAN IPA

                                                    REFLEKSI  

KULIAH        :           FILSAFAT ILMU
DOSEN          :           BP. PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL   :           SELASA /15 JANUARI 2013





Disusun oleh:
Raden Roro Yayuk Srirahayu, S.Pd.
NIM. 12708251070

KONSENTRASI PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013

HERMENEUTICS, PHENOMENOLOGI DAN PENGEMBANGAN INTUISI DALAM PEMBELAJARAN IPA

                                                                    REFLEKSI
KULIAH        :           FILSAFAT ILMU
DOSEN          :           BP. PROF. DR MARSIGIT, M.A.
HARI / TGL   :           SELASA /15 JANUARI 2015

1.        Hermeneutics dalam Pembelajaran IPA
Hermeneutika adalah studi tentang penafsiran teks-teks tertulis, terutama teks dalam bidang sastra, agama dan hukum.  Istilah hermeneutika mencakup seni dan pemahaman dan interpretasi ekspresi linguistik dan non-linguistik.  Hermeneutika adalah konsep dasar komunikasi yaitu menterjemahkan dan diterjemahkan.  Pada abad ke-20, Martin Heidegger  mengalihkan fokus dari interpretasi pemahaman eksistensial menjadi arti yang lebih otentik untuk mengetahui dan  mendalami dunia.  
Menurut Noeng Muhadjir (2001) dalam logika hermeneutic kebenaran dicari dengan menganalisis makna simbolik dengan pembacaan heuristic atau pembacaan hermeneutic.  Pemaknaan hermeneutic sekarang berkembang ke arah pemaknaan dekonstruksi yaitu pemaknaan menggunakan berbagai sumber dan mengembangkan pemaknaan baru dna kreatif, tidak linier dan tidak konvergen. 
Hermeneutika secara epistemology adalah mencari kebenaran dan mencari pemahaman, Hermeneutika pada abad 21 menggunakan pendekatan studi empiris interaksi serta refleksi atas prosedur penafsiran yang digunakan dalam penelitian. 
IPA merupakan ilmu pengetahuan tentang alam atau mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.  IPA  sebagai Sains merupakan proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu dan dicirikan oleh nilai dan sikap ilmiah (Patta Bundu: 2006). 
Secara epistemologis IPA dapat diperoleh secara induktif dan deduktif melalui proses metode ilmiah.  Metode ilmiah meliputi merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penyelidikan, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan (Kementerian Pendidikan Nasional, 2011).
Dalam pembelajaran IPA  hermeneutika berupa upaya mendorong atau mengembangkan interaksi.  Interaksi yang dikembangkan adalah interaksi antara subyek belajar dengan alam dan peristiwa yang terjadi di alam  melalui proses metode ilmiah.  Menurut Sumiati (2007) siswa merupakan peserta yang aktif.  Paradigma pembelajaran harus beralih ke pandangan bahwa siswa belajar dan pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan aktif untuk mengeksplorasi lingkungan. 
Pendekatan yang diterapkan dalam me­nyajikan pembelajaran IPA  adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains dalam bentuk pengalaman langsung dan membelajarkan siswa untuk membangun intuisi, berpikir logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata.   
Guru harus mendesain proses pembelajaran IPA melalui proses penemuan (scientific inquiry) yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan alam dan fenomena alam dan membangun sendiri pengetahuannya (konstruktivisme).  Hal ini sesuai dengan pendapat David A. Jacobsen, dkk  (2009)  yang menyatakan bahwa peran terpenting guru adalah memfasilitasi perolehan pengetahuan, peningkatan sosial dan intelektual siswa. 
Berbagai bentuk pembelajaran konstruktivistik dalam pembelajaran IPA yang dapat mengembangkan interaksi, antara lain: 
1.          Eksperimentasi: siswa secara individu melakukan percobaan dan berdiskusi bersama-sama membahas hasilnya di kelas
2.          Proyek penelitian: siswa melakukan penelitian topik tertentu dan mempresentasikan temuan mereka di depan kelas.
3.          Kunjungan lapangan: siswa melakukan kunjungan lapangan dan mengaitkan konsep dan ide-ide yang diperoleh di dalam kelas ke dalam konteks dunia nyata
4.          Pembelajaran online dalam bentuk forum diskusi, wiki dan blog yang memungkinkan siswa untuk secara aktif mengkonstruksi pengetahuan. 
2.        Phenomenologi dalam Pembelajaran IPA
Fenomenologi mempelajari tentang struktur kesadaran yang mengutamakan pengalaman subyektif sebagai sumber dari semua pengetahuan kita tentang apa yang tampak atau penampilan hal (fenomena obyektif). 
Hal mendasar dalam fenomenologi adalah abstraksi dan  idealisasi dari fenomena obyek.  Struktur utama dari pengalaman adalah intensionalitas kesadaran yang diarahkan pada obyek (fenomena obyek) berdasarkan makna obyek.  Obyek yang diamati adalah obyek yang dikenai kesadaran, sedangkan obyek yang luput dari kesadaran tidak termasuk fenomena. Pengertian atau pemahaman yang diperoleh dalam mengamati obyek akan sangat bergantung pada sejauhmana intensionalitasnya dalam pengamatan.
Agar esensi fenomena obyek tidak terkontaminasi dengan subyektifitas, psikologisme dan naturalism maka Husserl menggunakan satu prosedur berupa epoche.  Epoche adalah penundaan semua asumsi tentang kenyataan atau mengosongkan diri dari keyakinan tertentu demi memunculkan esensi.  Dalam mengeksplorasi kesadaran kita harus menyingkirkan segala macam keyakinan, dalil, teori, atau pemikiran orang lain sehingga penilaian terhadap fenomena tidak terkontaminasi. Di dalam epoche kita tidak meragukan semua hal, melainkan hanya tidak memperhatikan semua itu hingga tuntasnya penyelidikan terhadap suatu fenomena. 
Prosedur  kedua Husserl adalah eidetic vision (reduksi) yaitu menyaring fenomena (melakukan abstraksi)  untuk sampai ke eidosnya, sampai ke intisarinya, atau yang sesejati mungkin (wesen) atau sampai pada hakekatnya. Agar kita dapat mencapai  hakekat segala sesuatu yang diselidiki (fenomena) maka dibutuhkan reduksi yang menyingkirkan semua hal yang mengganggu.  Reduksi pertama berupa reduksi fenomenologis yaitu menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif.  Kita harus menyingkirkan pengalaman-pengalaman agar fenomena bisa masuk ke dalam kesadaran tanpa terlebih dulu di-judge oleh pengalaman.  Sikap kita harus obyektif dan terbuka terhadap fenomena obyek.  Reduksi kedua adalah  reduksi eidetis yaitu menyingkirkan pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dari sumber lain.  Kita menyaring segala hal yang yang bukan inti sari atau hakekat fenomena. Reduksi ketiga adalah reduksi transendenta berupa menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. 

Fenomenologi menunjukkan apa yang tampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya.  Fenomenologi  berusaha menangkap fenomena sebagaimana adanya, atau menurut penampakannya sendiri.
Dalam pembelajaran IPA fenomenologi selalu kita gunakan.  Misalnya dalam percobaan-percobaan siswa mengintensikan kesadarannya pada fenomena tertentu saja (melakukan abstraksi) dan mereduksi penampakan-penampakan yang lain dan memasukkannya ke dalam rumah epoche.  Dalam melakukan percobaan, siswa melakukan abstraksi yaitu menyaring fenomena-fenomena dan hanya mengambil atau memperhatikan fenomena yang diperlukan saja.  Misalnya dalam percobaan uji makanan, maka siswa hanya melakukan pengamatan yang intensif terhadap perubahan warnanya dan melakukan reduksi terhadap rasa, bau, dan fenomena lain yang tidak perlu.  Fenomena yang tidak penting tidak diperhatikan (direduksi) sehingga diperoleh esensi dari percobaan yang dilakukan.
Idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada.   Idealisasi dilakukan pada saat siswa harus menuliskan hasil percobaan untuk menarik suatu kesimpulan atau rumusan misalnya mengenai sifat suatu zat.  Dalam percobaan uji makanan idealisasi dilakukan pada saat menulis kesimpulan mengenai kandungan zat pada makanan.

3.        Pengembangan Intuisi dalam Pembelajaran IPA
Intuisi (wikipedia.org) adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari dunia lain dan di luar kesadaran.
Intuisi dapat diperoleh melalui kebiasaan dan pengalaman.  Pengalaman kita peroleh melalui sensori motor dan melalui interaksi.  Pengalaman bersifat naik, setelah terbentuk intuisi maka di dalam berpikir kita terbentuk doktrin atau kategori atau prinsip.  Separoh lebih dunia kita adalah intuisi.  Melalui kegiatan dan interaksi kita akan menemukan intuisi.
Proses pembelajaran IPA yang dilakukan melalui proses penemuan (scientific inquiry) dan metode ilmiah memungkinkan siswa berinteraksi dengan alam dan fenomena alam dan memberikan pengalaman langsung kepada siswa.  Diperolehnya ilmu melalui pengalaman menyebabkan siswa dapat mengembangkan intuisi. 
Pembelajaran dengan melakukan interaksi dan memberikan pengalaman langsung terutama dalam pembelajaran IPA sangat penting.  Interaksi akan mengembangkan intuisi. Oleh sebab itu hendaknya pembelajaran IPA dilakukan sesuai hakekatnya dengan mengembangkan interaksi agar tidak membunuh intuisi siswa.

Pertanyaan: 
1.      Apakah ada hubungan antara intuisi dengan doa?

Referensi:
_____. 2011.  Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA secara Terpadu.  Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
David A. Jacobsen, Paul Eggen, Donald Kauchak. 2009. Methods for Teaching Metode-Metode Pengajaran Meningkatkan belajar siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rakesarasin.

Pannen, Paulina, dkk. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Patta Bundu. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains-SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Sumiati, Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.


Senin, 14 Januari 2013



KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN IPA


Makalah Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Prof. Dr. Marsigit M.A,
Th. 2012/2013


Disusun oleh:
Raden Roro Yayuk Srirahayu, S.Pd.
PSn Kelas D
NIM. 12708251070


KONSENTRASI PENDIDIKAN BIOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013
DAFTAR ISI


Halaman Judul .........................................................................................       i
Daftar Isi       ............................................................................................      ii
Bab I          PENDAHULUAN  ...............................................................     1
BAB II       PEMBAHASAN
A. Hakekat IPA dan Pembelajaran IPA  ...............….……..      3
B. Pembelajaran Konstruktivisme  ………..…….………….      5
C. Kontruktivisme dalam Pembelajaran IPA  ………..…….      8
BAB III     KESIMPULAN ………………………….………..………….. 12
DAFTAR PUSTAKA  …………………………………….…………….     13

BAB I
PENDAHULUAN

 IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam semesta dengan gejala dan persoalannya secara sistematis Hakekat pembelajaran IPA bukan hanya penguasaan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip IPA tetapi menekankan pada pemberi­an pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi memahami alam sekitar secara ilmiah melalui proses penemuan (inquiry). Setelah belajar IPA siswa diharapkan dapat mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta dapat mene­rapkannya di dalam kehidupan sehari-hari sehingga memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. 
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahun kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.  Pengetahuan yang diperoleh merupakan hasil dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan stuktur pengetahuan dan membangun pengetahuan. Pengetahuan tidak lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman.   Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali  mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Suparno, Paul, 1997).
Cara penge­masan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pen­galaman belajar bagi para siswa. Pengalaman belajar yang berorientasi pada persoalan-persoalan di dunia nyata di lingkungan pesaerta didik akan meningkatkan kompetensi siswa dalam memecahkan masalah dan kehidupan dan menghasilkan kebulatan pandangan dan pengetahuan tentang dunia nyata dan kehidupan. Pembelajaran hendaknya menggunakan pendekatan yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah  dalam dunia nyata melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat membangun sendiri pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah tersebut (life skills). 
Siswa adalah peserta yang aktif dan berperan sebagai subjek belajar. Pembelajaran yang bertitik tolak pada pandangan bahwa siswa diajar dan guru mengajar harus berubah ke pandangan bahwa siswa belajar. Sekolah merupakan tempat dan kesempatan belajar untuk belajar bagi siswa. Kegiatan belajar adalah kegiatan sepanjang hayat, sehingga siswa mempelajari berbagai hal terus-menerus sepanjang perjalanan hidupnya, serta tidak terhenti pada saat siswa tamat sekolah. Oleh karena itu, kegiatan di sekolah adalah kegiatan pembelajaran. Siswa belajar, saling belajar, bukan hanya dari guru melainkan juga dari teman-teman satu kelas, teman satu sekolah, dan dari berbagai sumber belajar yang lain (lingkungan, media cetak, dan media elektronik).
Siswa sebagai subyek belajar akan belajar dengan baik jika yang dipelajarinya merupakan kaitan antara pengetahuan, kegiatan yang telah diketahuinya dan peristiwa atau persoalan yang terjadi di sekellilingnya. Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, guru harus mengaitkan materi pembelajaran yang diajarkan dengan situasi dunia nyata di sekeliling siswa dan mendorong  siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang diperoleh dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.  Upaya guru membantu siswa tersebut dilakukan melalui pendekatan yang disebut pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual mengutamakan pada pengetahuan dan pengalaman atau dunia nyata (real world learning), berpikir tingkat tinggi, berpusat pada siswa, siswa aktif , kritis, kreatif, memecahkan masalah, proses belajar menyenangkan, mengasyikkan, tidak membosankan (joyfull and quantum learning), dan menggunakan berbagai sumber belajar







BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakekat IPA dan Pembelajaran IPA
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan ilmu pengetahuan tentang alam atau mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.  IPA  sebagai Sains merupakan proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar, pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu dan dicirikan oleh nilai dan sikap ilmiah (Patta Bundu: 2006). 
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan upaya memahami berbagai fenomena alam secara sistematis.  Secara ontologis IPA mempelajari sebab akibat gejala fenomena alam dan segala aspeknya.  IPA memiliki dimensi:
1.         Sikap ilmiah (sientific attitude): berupa nilai yang melekat pada IPA seperti rasa ingin tahu tentang fenomena alam serta hubungan sebab akibat yang timbul, kejujuran, keterbukaan
2.         Proses ilmiah (scientific process): prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah
3.         Produk ilmiah (scientific product): berupa fakta, konsep, teori, prinsip, hukum
4.         Aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari
5.         Kreativitas: berhubungan dengan ide baru atau cara yang tidak biasa dalam menggambarkan dan memanfaatkan produk IPA serta kegiatan pemecahan masalah.
Secara epistemologis IPA dapat diperoleh secara induktif dan deduktif melalui proses metode ilmiah.  Metode ilmiah meliputi merumuskan hipotesis, merancang dan melaksanakan penyelidikan, mengumpulkan dan menganalisis data, serta menarik kesimpulan (Kementerian Pendidikan Nasional, 2011).
Pembelajaran IPA  tidak sekedar transfer produk ilmiah berupa konsep, teori, dan hukum, melainkan harus melatihkan berbagai ketrampilan proses ilmiah dan harus menumbuhkan nilai-nilai ilmiah.  Pembelajaran IPA harus mampu membangun intuisi, dan membelajarkan siswa untuk berpikir logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata. 
Agar siswa mampu membangun intuisi, berpikir logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata maka Pembelajaran IPA harus dilakukan melalui proses penemuan (scientific inquiry) dan siswa harus diberi kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya (konstruktivisme).  Pembelajaran IPA harus memberikan pengalaman belajar secara langsung dan mengembangkan keterampilan proses, sikap ilmiah maupun kreativitas.
Pengalaman-pengalaman belajar IPA yang dilakukan melalui kegiatan inkuiri ilmiah (scientific inquiry) yang komprehensif akan mem­bantu siswa membangun dan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Pengalaman belajar dikembangkan melalui penerapan konsep IPA yang diwarnai me­tode ilmiah, sikap ilmiah, dan komunikasi ilmi­ah.
Pendekatan yang diterapkan dalam me­nyajikan pembelajaran IPA  adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains dalam bentuk pengalaman langsung.   Perbaikan pembelajaran yang diperlukan saat ini yaitu pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar dengan cara mengaitkan materi IPA dengan kehidupan sehari-hari siswa. Oleh karena itu, guru dituntut  memahami sepenuhnya materi yang akan diajarkan dan memilih pendekatan dan penggunaan metode pembelajaran yang tepat.






B.       Pembelajaran Kontruktivisme
Kenyataan atau realitas  terdiri dari dimensi eksternal dan internal. Dimensi eksternal menunjuk kepada dimensi objektif, sedangkan dimensi internal menunjuk kepada dimensi subjektif. Paham Rasionalisme menyatakan bahwa pengetahuan kita menunjuk kepada objek-objek dan bahwa kebenaran itu merupakan akibat dari proses deduksi.  Para rasionalisme lebih menekankan rasio, logika, dan pengetahuan deduktif.  Tokoh Rasionalisme adalah Plato dan Rene Decrates.
Risalah Decrates tentang Hukum-hukum bagi Pengarahan Pemikiran (Rules for the Direction of the Mind) menurut Paul Strathern (2001:26-27) adalah:
“Agar kita mampu menemukan ilmu pengetahuan yang universal, pertama-tama kita harus menerapkan sebuah metode untuk berpikir dengan tepat. Metode ini terdiri dari dua hokum mengenai operasi mental: intuisi dan dedukasi. Intuisi didefinisikan Descrates sebagai sebuah konsepsi, yang tak memiliki keraguan, sebuah pikiran yang atentif dan tak tersamarkan, yang dibentuk oleh penerangan nalar semata. Sedangkan deduksi didefinisikan sebagai penarikan kesimpulan yang diperoleh dari fakta-fakta lain yang telah diketahui kepastiannya. Descrates mengungkapkan metode, yang dikenal sebagai Metode Cartesian, yang dilandaskan pada aplikasi yang tepat dari kedua hukum pemikiran ini.”

Paham Empirisisme menyatakan bahwa pengetahuan kita menunjuk kepada objek-objek tetapi menggunakan penalaran induktif dengan bukti-bukti berdasarkan pengalaman. Kaum empiris lebih menekankan pengalaman dan pengetahuan induktif.  Empirisme menyatakan bahwa semua pengetahuan diturunkan dari pengalaman indrawi, sumber terpenting dari pengetahuan adalah dunia luar (dimensi eksternal). Esensi pengetahuan adalah representasi dari dunia luar yang diperoleh terutama dari observasi atau dari alam semesta.  Tokoh empirisme adalah Aristoteles, Berkeley, Hume, dan Locke.
Konstruktivisme dapat dianggap merupakan sintesis pandangan rasionalis dan empiris.  Konstruktivisme menunjukkan interaksi antara subjek dan objek, antara realitas  eksternal dan internal.  Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu sumbernya berasal dari luar tetapi dikonstruksikan dari dalam diri seseorang.  Bagi konstruktivisme, pengetahuan adalah konstruksi pikiran manusia. Pengetahuan adaalah suatu kerangka untuk mengerti bagaimana seseorang mengorganisasikan pengalaman.   
Pelopor besar dari teori konstruktivis dalam proses belajar adalah Jean Piaget.  Piaget percaya bahwa setiap makhluk hidup perlu beradaptasi dan mengorganisasi lingkungan fisik di sekitarnya agar tetap hidup. Perkembangan pemikiran juga mirip dengan perkembangan biologis, yaitu adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme beradaptasi ke dalam lingkungannya.
Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah dibangun oleh para ilmuwan dan tidak ditemukan dari dunia.  Konstruktivis berpendapat bahwa konsep-konsep ilmu pengetahuan merupakan konstruksi mental dari pengalaman indrawi.  Prinsip lain yang penting dari teori Konstruktivisme adalah bahwa tidak ada metodologi yang berlaku tunggal dalam ilmu pengetahuan, melainkan beragam metode.   Konstruktivisme berpandangan bahwa realitas tidak tergantung pada pemikiran manusia, namun makna atau pengetahuan selalu merupakan hasil konstruksi manusia(http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivist_epistemolog).
Konstruktivisme menjelaskan bagaimana manusia membangun pemahaman dan pengetahuannya mengenai dunia sekitarnya melalui pengenalan terhadap dunia di sekitarnya  yang direfleksikan melalui pengalaman.  Teori Belajar Konstruktivisme memandang bahwa belajar adalah membangun pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya.
Pengetahuan itu bukan suatu fakta yang tinggal ditemukan, tetapi merupakan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Pengetahuan merupakan suatu konstruksi orang yang mempelajarinya. Orang harus menciptakan pengetahuannya sendiri dalam pikirannya.
Pengertian dan pengetahuan dibentuk sendiri oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka.  Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membentuk pengetahuan.  Proses pembelajaran harus  menekankan peranan siswa dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu keaktifan siswa tersebut dalam pembentukan pengetahuannya.  Pengetahuan siswa merupakan proses pembentukan (konstruksi) yang terus-menerus, terus berkembang dan berubah dan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman sebelumnya. 
Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi siswa sewaktu berinteraksi dengan lingkungannya.  Tanpa pengalaman siswa tidak dapat membentuk pengetahuan. Pengalaman meliputi pengalaman fisik, pengalaman kognitif dan pengalaman mental.
Pembelajaran konstruktivis didasarkan pada teori belajar konstruktivis,  pada keyakinan bahwa pembelajaran terjadi jika peserta didik secara aktif terlibat dalam proses konstruksi makna dan pengetahuan bukan hanya pasif menerima informasi.  Pembelajaran konstruktivis menumbuhkan pemikiran kritis, dan membuat peserta didik termotivasi dan independen.  Konstruktivis menunjukkan bahwa pembelajaran lebih efektif bila siswa secara aktif terlibat dalam proses belajar daripada mencoba untuk menerima pengetahuan secara pasif.  Metode konstruktivis bergantung pada beberapa bentuk penemuan terbimbing di mana guru menghindari instruksi langsung melainkan berupaya untuk memimpin siswa melalui pertanyaan dan kegiatan untuk menemukan, berdiskusi, menghargai, dan verbalisasi pengetahuan (http://en.wikipedia.org/wiki/Constructivist_teaching_methods) .






C.      Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA    
Pembelajaran merupakan proses yang disadari dan melalui proses.  Definisi pembelajaran menurut Rudi Susilana (2007:1) adalah:
“Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar. Pembelajaran dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator. “

Pembelajaran harus membuat siswa merasa bahwa dirinya sedang belajar, dan dalam dirinya timbul motivasi-motivasi untuk memiliki pengetahuan yang diharapkan.  Pengetahuan yang diperoleh siswa harus bersifat permanen dan tidak diperoleh secara spontanitas dan  instan, namun bertahap.  Pembelajaran berlangsung melalui alat indra kita, yaitu: penglihatan (visual), pendengaran (auditory), pembauan (olfactory), rasa atau pengecap (taste), dan sentuhan (tactile).  Dalam proses pembelajaran tidak hanya melibatkan penguasaan fakta atau konsep sesuatu bidang ilmu saja, tetapi juga melibatkan perasaan-perasaan yang berkaitan dengan emosi, kasih sayang, benci, hasrat, dan kerohanian.  Pembelajaran merupakan proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui pengalaman siswa (Mohammad Asrori,  2007).
Pemahaman dan struktur kognitif dapat diperoleh siswa melalui pengalaman melakukan suatu kegiatan, “learning by doing-yaitu belajar dengan jalan melakukan suatu kegiatan”. Kemauan dan dorongan untuk melakukan kegiatan yang dapat memberi pengalaman belajar untuk mencapai pemahaman sebaiknya muncul dari dalam diri siswa. Kemauan dan dorongan dapat pula disebabkan oleh rangsangan dari luar. Dalam proses pembelajaran, rangsangan dapat ditimbulkan oleh guru, dengan cara menyediakan suatu materi pembelajaran yang bersifat problematik, atau proses pembelajaran yang mengandung permasalahan yang menuntut upaya menemukan pemecahan malalui suatu proses pencarian dan penemuan (inquiry).  Hal ini sejalan dengan penelitian Gardner yang menguak rumpun kecerdasan manusia.   Gardner menjelaskan kecerdasaan sebagai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia. kemampuan untuk menghasilkan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu atau menawarkan jasa yang akan menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang (Linda Campbell, Bruce Campbell, Dee Dickinson, 2006).
Pengalaman siswa sangat membatasi perkembangan pembentukan (konstruksi) pengetahuan.  Pengalaman terhadap fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan.  Dalam bidang IPA peranan pengalaman melalui penemuan dan percobaan-percobaan sangat berperan dalam perkembangan konsep, hukum, dan teori IPA.
Dalam proses pembelajaran terjadi interaksi antara berbagai komponen pembelajaran yaitu guru, isi atau materi pembelajaran, dan siswa, dan melibatkan sarana prasarana, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar. 
Berdasarkan kerucut pengalaman Dale, pengalaman belajar yang paling tinggi nilainya adalah direct purposeful experience, yaitu pengalaman yang diperoleh dari hasil kontak langsung dengan lingkungan, obyek, binatang, manusia, dan sebagainya, dengan cara melakukan perbuatan langsung.   Berdasarkan pengalaman belajar yang diungkapkan oleh Peter Shea, maka siswa belajar 10% dari apa yang siswa baca, 20% dari apa yang siswa dengar, 30% dari apa yang siswa lihat, 50% dari apa yang siswa lihat dan dengar, 70% dari apa yang siswa katakan, dan 90% dari apa yang siswa katakan dan lakukan.  Oleh karena itu, agar pembelajaran dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa, perlu dipikirkan bentuk-bentuk media pembelajaran tertentu yang dapat membawa siswa kepada pengalaman belajar yang lebih konkrit dan mencapai hasil belajar yang diharapkan (Sumiati, Asra, 2007).
Pendekatan kontekstual yang digunakan dalam pembelajaran bersifat interaktif dan berpusat pada siswa.   Peran guru menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa,  memfasilitasi proses pembelajaran di mana siswa didorong untuk bertanggung jawab, berpikir kritis dan mandiri.  Guru memberikan pengalaman kepada siswa yang memungkinkan siswa untuk berhipotesis, memprediksi, memanipulasi objek, mengajukan pertanyaan, melakukan penelitian, melakukan investigasi, dan menciptakan.
Penerapan pembelajaran kontekstual pada pembelajaran IPA melibatkan konstruktivisme dan proses menemukan (inqury).  Pembelajaran IPA  tidak sekedar transfer produk ilmiah berupa konsep, teori, dan hukum, melainkan harus melatihkan berbagai ketrampilan proses ilmiah dan harus menumbuhkan nilai-nilai ilmiah.  Pembelajaran IPA harus mampu menyediakan pengalaman yang membelajarkan siswa untuk membangun intuisi, berpikir logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata.  Guru harus mendesain proses pembelajaran IPA melalui proses penemuan (scientific inquiry) dan siswa harus diberi kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuannya (konstruktivisme).  Pembelajaran IPA harus memberikan pengalaman belajar secara langsung
Guru dapat merancang proses pembelajaran yang memberikan pengalaman konkrit bagi siswa dan mengembangkan keterampilan proses, sikap ilmiah maupun kreativitas.  Hal ini sesuai dengan pendapat David A. Jacobsen, Paul Eggen, dan Donald Kauchak  (2009)  yang menyatakan bahwa peran terpenting guru sebagai pendidik professional adalah memfasilitasi perolehan pengetahuan, peningkatan sosial dan intelektual siswa. 
Guru dapat menggunakan berbagai metode pembelajaran, teknik dan pendekatan pembelajaran untuk membantu siswa memahami relevansi materi pembelajaran yang dipelajarinya dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan apa yang dipelajarinya di kelas.  Guru perlu mempertimbangkan model pembelajaran yang sesuai dengan kompetensi yang dikembangkan.
Hasil belajar siswa akan optimal jika guru membuat perencanaan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu, jenis penugasan, dan batas akhir suatu tugas. Penilaian yang dikembangkan dalam pembelajaran konstruktivisme tidak hanya mementingkan produk tetapi juga menilai proses.  Penilaian yang seharusnya dikembangkan adalah portofolio dan penilaian alternative.
Berbagai bentuk pembelajaran konstruktivistik dalam pembelajaran IPA dapat dikembangkan, antara lain: 
1.          Eksperimentasi: siswa secara individu melakukan percobaan dan berdiskusi bersama-sama membahas hasilnya di kelas
2.          Proyek penelitian: siswa melakukan penelitian topik tertentu dan mempresentasikan temuan mereka di depan kelas.
3.          Kunjungan lapangan: siswa melakukan kunjungan lapangan dan mengaitkan konsep dan ide-ide yang diperoleh di dalam kelas ke dalam konteks dunia nyata
4.          Pembelajaran online dalam bentuk forum diskusi, wiki dan blog yang memungkinkan siswa untuk secara aktif mengkonstruksi pengetahuan. 
Dengan pembelajaran konstruktivisme, siswa mengaktualisasikan esensi dirinya dan merasakan proses reflektif  berpikir seperti yang diungkapkan oleh filsuf Descartes “Cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada)”
Peran masyarakat dalam pendidikan menurut  Hegel dalam bukunya The Philosophy of Right  yang dikutip Paul Strathern (2001:63) adalah:
“Sebagai suatu bentuk keluarga universal, masyarakat madani memiliki hak dan kewajiban untuk melaksanakan supervisi dalam mempengaruhi pendidikan, sebab pendidikan mengolah kemampuan seorang anak untuk manjadi anggota masyarakat. “

Membelajarkan siswa secara konstruktivistik merupakan sunnatullah  dan jika diniatkan ibadah berlandaskan konsep moral pemberdayaan masyarakat dan diamalkan menjadi amalan baik maka semoga Allah menambahkan pahala yang berlipat-ganda. Amin.
BAB III
KESIMPULAN

            Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan upaya memahami berbagai fenomena alam secara sistematis.  Pembelajaran IPA harus mampu membangun intuisi, dan membelajarkan siswa untuk berpikir logis, kritis, kreatif, dan mampu memecahkan berbagai persoalan kehidupan nyata. 
Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan ilmiah dibangun melalui konstruksi mental dari pengalaman indrawi. Teori Belajar Konstruktivisme memandang bahwa belajar adalah membangun pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan pembelajaran terjadi jika peserta didik secara aktif terlibat dalam proses konstruksi makna dan pengetahuan
Proses pembelajaran di sekolah harus mengutamakan dan memfasilitasi peran aktif siswa.  Pembelajaran harus meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir  mengenai berbagai informasi dan melibatkan diri mereka dalam pemecahan masalah yang nyata.  Aktivitas pembelajaran yang konstruktivistik dapat melibatkan siswa membangun sendiri pengetahuannya dan pembelajaran menjadi pengalaman seumur hidup yang berkelanjutan.  Siswa dapat aktif berinteraksi dengan dunia luar yang luas untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang terus-menerus muncul, mampu hidup bertoleransi dan hidup secara harmonis di masyarakat (life skills and learning to life together)






DAFTAR PUSTAKA

_____. 2011.  Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA secara Terpadu.  Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Dakir. 2004. Perencanaan Dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
David A. Jacobsen, Paul Eggen, Donald Kauchak. 2009. Methods for Teaching Metode-Metode Pengajaran Meningkatkan belajar siswa TK-SMA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Linda Campbell, Bruce Campbell, Dee Dickinson. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press.
Mohammad Asrori. 2007. Psikologi Pembelajaran.  Bandung: CV Wacana Prima.
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rakesarasin.

Muhadjir, Noeng. 2003. Filsafat Islam Telaah Fungsional. Yogyakarta: Rakesarasin.

Pannen, Paulina, dkk. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Patta Bundu. 2006. Penilaian Keterampilan Proses dan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Sains-SD. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Paul Strathern. 2001. 90 Menit Bersama Hegel. Jakarta: Erlangga.

Paul Strathern. 2001. 90 Menit Bersama Descartes. Jakarta: Erlangga.

Rudi Susilana, Cepi Riyani. 2007. Media Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima
Sumiati, Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.