REFLEKSI
KULIAH
III : FILSAFAT
ILMU
DOSEN : BP. DR MARSIGIT, M.A.
HARI
/ TGL : SELASA
/25 SEPTEMBER 2012
PERKEMBANGAN DAN ALIRAN ALIRAN
FILSAFAT
Perkembangan
filsafat berasal dari Yunani.
Perkembangan filsafat Yunani terbagai menjadi Periode Yunani Kuno dan
Periode Yunani Klasik
Periode Yunani
Kuno disebut periode filsafat alam. Karena pada
periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam. Para pemikir
filsafat Yunani tersebut antara lain:
1.
Thales (625 -
545 SM)
Ia berpendapat
bahwa semua yang berasal dari air sebagai materi dasar kosmis. Pendapat itu dapat kita artikan bahwa apayang
disebut sebagai arche (asas pertama
dari alam semesta) adalah air. Semua
berasal dari air,dan semuanya kembali menjadi air. Bahwa bumi terletak di atas air, dan bumi
merupakan bahan yang muncul dari air dan terapung di atasnya
2.
Anaximandros
(640 – 546 SM)
Ia merupakan
orang pertama yang membuat peta bumi.
Pemikirannya dalam memberikan pendapat tentang arche (asas pertama dari alam semesta), ia tidak menunjuk pada
salah satu unsur yang dapat diamati oleh indra, tetapi ia menunjuk dan memilih
pada sesuatu yang tidak dapat diamati indera, yaitu to apeironi yang tak terbatas
3.
Phytagoras (
572-497 SM)
Phytagoras
berpendapat bahwa substansi dari semua benda adalah bilangan dan segala gejala
alam merupakan pengungkapan indrawi dan perbandingan-perbandingan
matematis. Ia mengemukakan bahwa setiap
bilangan dasar dari 1 sampai 10 mempunyai
kekuatan dan arti sendiri.
Phytagoras yang mengatakan pertama kali bahwa alam semesta itu merupakan
satu keseluruhan yang teratur.
Keharmonisan dapat tercapai dengan menggabungkan hal-hal yang berlawanan.
4.
Heracleitos
(535 – 475 SM)
Lahir di
Ephesus, dan mendapat julukan si gelap karena untuk menelusuri gerak pikirannya
sangat sulit. Pemikiran filsafatnya yang
terkenal “Panta rhei kai uden menci”
artinya segala sesuatunya mengalir bagaikan arus sungai dan tidak satu orangpun
dapat masuk ke sungai yang sama dua kali.
Alasannya, karena air sungai yang pertama telah mengalir, berganti
dengan air yang berada di belakangnya.
Heraclitos mengemukakan pendapatnya bahwa segala yang ada selalu berubah
dan sedang menjadi. Ia mempercayai bahwa
arche (asas pertama dari alam
semesta), adalah api. Api dianggapnya
sebagai lambang perubahan dan kesatuan.
Api mempunyai sifat memusnahkan segala yang ada, dan mengubahnya sesuatu
itu menjadi abu atau asap. Walaupun
sesuatu itu apabila dibakar menjadi abu atau asap toh adanya api tetap
ada. Segala sesuatunya berasal dari api,
dan akan kembali ke api. Menurut
pendapatnya, di dalam arche
terkandung sesuatu yang hidup (seperti roh) yang disebutnya sebagai logos (akal atau semacam wahyu)
5.
Parmenides (540
– 475 SM)
Parmenides
yang pertama kali memikirkan tentang hakekat tentang ada (being). Menurut pendapatnya,
apa yang disebut realitas adalah bukan gerak dan perubahan. Yang ada (being)
itu ada, yang ada tidak dapat hilang menjadi tidak ada. Yang tidak ada tidak mungkin muncul menjadi
ada. Yang tidak ada adalah tidak ada,
sehingga tidak dapat dipikirkan.
Pada periode Yunani Klasik semakin besar minat orang terhadap
filsafat. Aliran yang mengawali periode
Yunani Klasik adalah sofisme. Sofisme
berasal dari kata sophos yang artinya
cerdik pandai. Pada periode ini pemikir
filsafat yang berperan antara lain:
1.
Kaum Sofis
Kaum sofis merupakan golongn sarjana atau cendekiawan. Terdapat tiga factor yang mendorong timbulnya
kaum sofis yaitu: perkembangan pesat kota Athena dalam bidang politik dan
ekonomi, kota Athena sebagai pusat politik sehingga peranan pendidikan sangat
penting, dan terbukanya masyarakat Yunani terhadap budaya luar sehingga membuat
orang Yunani menjadi dinamis dan berkembang
2.
Gorgias (480 – 380 SM)
Menurut pendapatnya yang penting
adalah bagaimana dapat meyakinkan orang lain agar menerima. Pemikirannya yang penting adalah mencari
keterangan tentang asal usul adab.
Bagaimana peran manusia sebagai mkhluk yang mempunyai kehendak
berpikir. Norma yang sifatnya umum tida
ada, yang ada adalah norma yang individualistis (subjektivisme). Bahwa kebenaran tidak dapat diketahui
sehingga ia termasuk penganut skeptisisme.
3.
Socrates.
Pemikiran filsafatnya untuk
menyelidiki manusia secara keseluruhan yaitu dengan menghargai nilai-nilai
jasmaniah dan rohaniah yang keduanya tidak dapat dipisahkan karena dengan
keterkaitan kedua hal tersebut banyak nilai yang dihasilkan.
4.
Plato (427 – 347 SM)
Sebagai titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan
permasalahjan lama: mana yang benar antara yang berubah-ubah (Heracleitos) atau
yang tetap (Parmenidas). Pengetahuan
yang diperoleh lewat indra disebutnya pengetahuan indera dan pengetahuan yang
diperoleh lewat akal disebut pengetahuan akal.
Plato menerangkan bahwa manusia itu sesungguhnya berada dalam dua dunia,
yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak tetap (dunia indra), serta dunia ide
yang bersifat tetap. Dunia yang
sesungguhya atau dunia rea litas adalah dunia ide (dunia intelek). Pendapat Plato tergolong dalam aliran Dualisme yaitualiran yang
menganggap adanya dua substansi yang masing masing berdiri sendiri-sendiri.
Plato mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalah bagi manusia yang
tidak pantas bila tidak mengetahuinya, yaitu:
a. Manusia mempunyai
Tuhan sebagai penciptanya
b. Tuhan mengetahui
segala sesuatu yang diperbuat manusia
c. Tuhan hanya dapat
diketahui dengan cara negative (tidak ada ayat, tidak ada anak, dan lain-lain)
d. Tuhanlah yang
menjadikan alam ini dari tidak mempunyai peraturan menjadi mempunyai peraturan
Konsep Plato tentang etika sama
seperti Socrates, yaitu bahwa tujuan hidup manusia adalah hidup yang baik (eudaimonia atau well being)
Perkembangan filsafat pada abad 20 merupakan periode postmodernisme. Istilah postmodern dipakai pertama kali oleh
Frederico de Oniz pada tahun 1034 yang merupakan periode peralihan dari
modernism awal ke modernism dengan kualitas lebih tinggi. Pemikiran linier, terpola, atau mengikuti
konstruk atau paradigm yang ada, diragukan kemampuannya untuk menjawab berbagai
masalah yang berkembang sangat pesat.
Postmodernisme tetap mengakui rasionalitas, tetapi memberi kebebasan
kepada manusia untuk menempuh jalan kritis-kreatif-divergen dalam mencari
kebenaran. Postmodernisme bukan
membuktikan kebenaran, melainkan hendak mencari kebenaran.
Nonstandard logic menjadi salah satu karakteristik utama
Postmodernisme yang berpegang pada dua karakter dasar ilmuwan masa depan, yaitu
rasionalitas dan kebebasan.
Aliran-aliran filsafat dasarnya dapat ditinjau dari:
a. Persoalan tentang keberadaan (dimensi ontologis)
Dibedakan
menjadi dua, yakni:
1.
Kuantitas; Terdiri dari:
a)
Monisme (satu) ;
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa
hanya ada satu kenyataan fundamental di jagad raya ini dapat berupa: Tuhan atau
substansi lain, seperti jiwa, materi. dan lain-lain. yang tak dapat diketahui.
Tokohnya, seperti:
-
Thales (abad 6 Seb. M.), mengatakan air sebagai
substansinya,
-
Anaximandros (abad 6 Seb. M) mengatakan
bahwa Apeiron, yaitu sesuatu yang tak terbatas sebagai
substansinya,
-
Baruch Spinoza (abad 17 M) berpendapat
bahwa satu substansi itu adalah Tuhan yang dalam hal ini Tuhan diidentikkan
dengan alam (Yunani: Naturans naturata).
b)
Dualisme (dua) ;
Yaitu: aliran yang menganggap adanya
dua substansi yang masing masing berdiri sendiri-sendiri.
Tokohnya, yaitu:
-
Plato (427-347 Seb. M). Yang membedakan
adanya dua dunia, yaitu dunia indra (dunia bayang-bayang) dan dunia intelek
(dunia idea).
-
Rene Descartes (1596-1650), yang
membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan.
-
Immanuel Kant (1724-1804) yang
membedakan antara dunia gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena)
c)
Pluralisme (banyak)
Yaitu:
aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua substansi,
melainkan banyak substansi sebagai kenyataan yang fundamental.
Tokohnya, yaitu:
-
Empedokles (490-430 Seb. M), yang
menyatakan bahwa hakekat kenyataan terdiri dari empat unsur, ialah udara, api, air,
dan tanah.
-
Anaxagoras, yang menyatakan bahwa
hakikat kenyatan terdiri dari unsur-unsur yang tak terhitung jumlahnya,
sebanyak jumlah sifat-sifat benda dan semuanya itu dikuasai oleh suatu tenaga
yang dinamakan “nous”.
Dikatakan olehnya bahwa “nous” adalah
suatu zat yang paling halus yang memiliki sifat pandai bergerak dan mengatur,
tapi tidak diatur.
-
Tokoh-tokoh pendukungnya adalah filsuf
Postmodern, seperti Mitchel Foucault, J.J. Derrida, dan J.F. Lyotard (mereka
sebagai tokoh yang memihak pada aliran pluraslisme)
2.
Kualitas:
Terdiri
dari:
a)
Spiritualisme
Yaitu aliran yang menyatakan bahwa
kenyataan fundamental adalah jiwa (pneuma, nous, reason, logos).
Jadi, yang mendasari seluruh alam ini adalah jiwa,
sehingga ini dilawankan dengan materialisme.
Tokohnya, yaitu: Plato (427-347 Seb. M), yaitu dengan ajarannya tentang
idea (cita). Idea (cita) adalah gambaran asli segala benda. Jadi semua benda
yang ada di alam raya ini hanyalah merupakan bayangan idea saja.
b)
Materialisme
Aliran yang menyatakan bahwa tidak ada
hal yang nyata keculi materi. Pikiran dan kesadaran hanyalah
penjelmaan dari materi dan dapat dikembalikan pada unsur-unsur fisik.
Jadi hal-hal yang bersifat kerochanian, seperti pikiran,
jiwa, keyakinan, rasa sedih, dll. Tidak lain hanyalah ungkapan proses
kebendaan.
Tokohnya, yaitu:
-
Demokritos (460-370 Seb. M) yang
mengatakan bahwa alam semesta ini tersusun dari atom-atom kecil yang memiliki
bentuk dan badan. Atom-atom ini sifatnya sama, dan
bedanya hanya pada bentuk, besar, dan letaknya. Oleh sebab itu jiwa pun terjadi
dari atom-atom, hanya saja atom jiwa lebih kecil, bulat, dan sangat halus,
serta mudah bergerak.
-
Thomas Hobbes (1588-1679), yang
mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan gerak dari
materi, termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka.
Jadi, segala sesuatu terjadi dari benda-benda kecil,
sehingga filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari benda-benda.
b. Persoalan pengetahuan yang bertalian dengan sumber-sumber
pengetahuan
(dimensi epistemologis)
Terdiri dari:
1.
Aliran
rasionalisme
Yaitu, aliran yang berpandangan bahwa
semua pengetahuan bersumber pada akal (rasio).
Tokohnya, ialah:
-
Rene Desacartes (1596-1650), mengatakan
bahwa manusia sejak lahir telah memiliki idea bawaan (innate ideas).
-
Karl R. Popper (1902- ) dengan aliran “Rasionalisme kritis”
2.
Aliran
empirisme,
Yaitu aliran yang berpandangan bahwa
semua pengetahuan diperoleh liwat indera. Prosesnya:
Indera memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, kemudian kesan-kesan itu
berkumpul dalam diri manusia yang kemudian diolah menjadi pengalaman.
Tokohnya : John Locke (1632-1704),
Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776)
John Locke mengatakan, bahwa waktu
lahir jiwa manusia adalah putih bersih (tabularasa), tidak ada
bekal dari siapa pun.Akal/ rasio pasif pada waktu pengetahuan didapatkan.
Artinya, bahwa akal/ rasio tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya
sendiri.Jadi, semula akal serupa dengan secarik kertas putih yang tanpa
tulisan, yang siap menerima sesuatu yang datang dari pengalaman.
John Locke tidak membedakan antara
pengetahuan iderawi dan pengetahuan akali.Satu-satunya obyek pengetahuan adalah
idea-idea yang timbul karena empiri/ pengalaman lahiriah (sensation)
dan karena pengalaman/ empiri batiniah (reflection).
Kedua macam pengalaman itu jalin menjalin, yaitu
pengalaman lahiriah menghasilkan gejala-gejala psikis yang harus ditanggapi
oleh pengalaman batiniah. Yang dibedakan oleh John Locke adalah
antara idea-idea tunggal (simple ideas) dan idea-idea majemuk (complex
ideas).Idea tunggal datang pada manusia langsung dari pengalaman, tanpa
pengolahan logis, sedang idea majemuk timbul dari gabungan idea-idea tunggal.
Jadi, jika idea-idea secara teratur
bersama menampilkan diri, maka idea-idea itu sebagai satu hal yang sama, yang
berdiri sendiri, yaitu yang disebut substansi.
3.
Aliran
Kritisisme,
Yaitu: aliran yang berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu berasal, baik dari dunia luar, maupun dari jiwa atau
pikiran manusia.Prosesnya: akal memperoleh pengetahuan dari empiri/ pengalaman,
kemudian akal mengatur dan mentertibkan dalam bentuk pengamatan, yakni dalam
bentuk ruang dan waktu.
Tokohnya: Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant (1724-1804) seorang
filsuf Jerman yang mencoba mengatasi pertikaian antara rasionalisme dan
empirisme. Mulanya Kant mengakui rasionalisme,
kemudian empirisme datang mempengaruhinya. Waktu menghadapi empirisme, Kant
tidak begitu saja menerimanya, karena Kant tahu bahwa empirisme membawa
keraguan terhadap rasio. Di satu pihak, Kant mengakui kebenaran
indra, dan di lain pihak, Kant mengakui pula bahwa rasio mampu mencapai
kebenaran.
Oleh sebab itu, Kant
mengkompromisasikan antara kedaulatan rasio dengan kedaulatan empiri/
pengalaman, yaitu: Bagaimanapun, fungsi rasio adalah yang
pertama dan utama, namun rasio/ akal harus mengakui persoalan-persoalan yang
ada di luar jangkauannya. Pada waktu rasio tidak mampu meraih
pengetahuan, maka di sinilah batas-batas di mana ketentuan akal itu tidak
berlaku lagi, dan sejak itulah fungsi pengalaman/ empiri tampil sebagai suatu
cara penyampaian pengetahuan.
Jadi, bagi Immanuel Kant adalah dari
satu pihak mempertahankan objektivitas, universalitas, dan keniscayaan
pengertian, namun dari lain pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari
fenomin-fenomin, dan tidak dapat melebihi batas batasnya.
Oleh sebab itu, filsafat Kant
tekanannya terletak pada pengertian (kegiatan) pengertian dan penilaian
manusia, bukan menurut aspek psikologis seperti dalam empirisme,
melainkan sebagai analisa kritis.
4.
Aliran
Idealisme
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa
dari suatu dasar menelurkan kesimpulan dan kemudian memberi keterangan tentang
keseluruhan yang ada.
Artinya, bahwa pengetahuan itu tidaklah
lain daripada kejadian dalam jiwa manusia, sedang kenyataan yang diketahui
manusia itu ada di luarnya.
Prosenya: Yang ada adalah berupa idea
itulah yang disebut aliran idealisme.
Tokohnya: Fichte (1762-1814); Schelling (1775-1854); Hegel 1770-1831).
Fichte mengakui dan memberikan
prioritas yang tinggi kepada Aku, sehingga dikatakan bahwa Aku adalah
satu-satunya realitas. Bedanya dengan Schlling yang juga tokoh
idealisme, yaitu bahwa Schelling mengakui obyek (bukan Aku) itu sungguh sungguh
ada.
Sehingga kalau bagi Fichte, obyek itu muncul dari Aku,
maka Schelling mengatakan Aku (subyek) dari alam (bukan Aku) yang
sungguh-sungguh ada. Akan tetapi, munculnya Aku dari alam
adalah yang telah sadar.Jadi, tampak ada keserasian antara Fichte dan
SchellingSedangkan bagi Hegel yang juga tokoh idealisme, mengatakan:
Bahwa dibedakan antara yang mutlak dan yang tidak mutlak.
Yang mutlak adalah jiwa, namun jiwa itu menjelma pada
alam, dan sadarlah akan dirinya. Jiwa adalah
idea, yang artinya berpikir. Dan dalam diri manusia, idea itu sadar
akan dirinya, maka manusia itu merupakan bagian dari idea yang mutlak, yatu
Tuhan.
5.
Aliran
Positivisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa
kepercayaan kepercayaan yang dogmatis harus digantikan dengan pengetahuan
faktawi.
Artinya: bahwa filsafat hendaknya dan
semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif, yaitu
peristiwa-pristiwa yang dialami manusia.Prosesnya: apapun yang berada di luar
pengalaman tidak perlu diperhatikan.
Tokohnya: August Comte
(1798-1857); Emile Durkheim (1858-1917); John Stuart Mill (1806-1873).
Menurut Comte, jiwa dan budi adalah
basis dari teraturnya masyarakat. Oleh sebab itu, jiwa dan budi haruslah
mendapatkan pendidikan yang cukup dan matang. Sehingga menurut Comte, bahwa
sekarang saatnya hidup dengan mengabdi pada ilmu positif, seperti matematika,
fisika, biologi, ilmu kemasyarakatan, dll.
Hal ini seperti dikatakan oleh Comte,
bahwa pengetahuan manusia di dalamnya ditemukan tiga tahap ilmu pengetahuan, yaitu:
a)
Tahap ketika fenomena dijelaskan secara
teologis seperti dilakukan pada Abad Tengah.
b)
Tahap ketika fenomena dijelaskan secara
metafisis seperti dilakukan pada periode Pencerahan.
c)
Tahap ketika eksplanasi ditempuh
melalui observasi hubungan hubungan serta ilmu ilmu yang mencapai konstruksi.
Jadi, Comte yakin bahwa ilmu-ilmu yang
positivistik telah bergerak dari status yang lebih bersifat umum menuju tahap
dan sifat yang lebih konkrit dan kompleks, seperti: matematika, astronomi,
fisika, kimia, biologi, dan sosiologi. Comte
mengatakan, bahwa budi atau pemikiran manusia mengalami 3 tingkatan, yaitu:
a)
Tingkat
teologis,
Pada tingkat teologis, manusia
mengarahkan jiwanya kepada hakekat “batiniah” segala sesuatu dengan pengaruh
dan sebab sebab yang melebihi kodrat, yaitu kepada “sebab pertama” dan “tujuan
terakhir”.
b)
Tingkat
metafisis,
Pada tingkat kedua, yaitu tingkat
metafisika yang hanya perubahan saja dari teologis, karena yang hendak
diterangkan harus melalui abstraksi.Sebab kekuatan yang adikodrati hanya
diganti dengan kekuatan yang abstrak, yang dipandang sebagai asal segala
penampakan atau gejala yang khusus.
c)
Tingkat
positif.
Tingkat ketiga, yaitu
tingkat positif di mana manusia menganggap, bahwa tidak ada gunanya untuk
berusaha mencapai pengetahuan yang mutlak, baik pengetahuan teologis, maupun pengetahuan
metafisis. Sebab tujuan tertinggi adalah bilamana
gejala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum
saja, misal: gaya berat. Jadi di sini
hanya memperhatikan yang sungguh sungguh dan sebab akibat yang sudah ditentukan.
Emile Durkheim mengatakan bahwa
positivisme sebagai asas sosiologis. John Stuart
Mill menggunakan sistem positivisme pada ilmu jiwa, logika, dan kesusasteraan.
6.
Aliran
Evolusionisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan bahwa
manusia adalah perkembangan tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah.
Prosesnya: yaitu alam yang juga diatur oleh hukum hukum
mekanik.
Berupa hukum survival of the fittest dan
hukum struggle for live.
Tokohnya:
a)
Charles Darwin (1809-1882); Darwin mengatakan, bahwa manusia adalah perkembangan
tertinggi dari taraf hidup yang paling rendah, yaitu alam, dan juga diatur oleh
hukum-hukum mekanik Jadi,
hukum survival of the fittest dan hukum struggle
for live dari tumbuh-tumbuhan dan hewan berlaku pula bagi manusia.
b)
Herbert Spencer (1820-1903).
Herbert Spencer, yang dapat dikenal
adalah “yang menjadi”, bukannya “yang ada”. Oleh sebab itu, proses dunia
ini tiada lain merupakan berkumpulnya kembali gerak dan bahan. Maka,
evolusi adalah peralihan hubungan yang lebih erat (integrasi) dalam bahan, yang
dengan sendirinya disertai oleh perluasan gerak.
7.
Aliran
Eksistensialisme,
Yaitu: aliran yang berpandangan
untuk mengerti seluruh realitas.
Artinya, bahwa manusia harus bertitik
tolak pada manusia yang konkrit, yaitu manusia sebagai existensi;
dan sehubungan dengan titik tolak ini maka bagi manusia existensi itu
mendahului essensi.
Prosesnya, yaitu memahami secara sadar,
apakah sebenarnya mengetahui itu, maka harus mengetahui manusia yang
benar-benar ada.
Tokohnya: Martin Heidegger (1889- );
Karl Jaspers (1883- ); Jean Paul Sartre (1905- ).
Ciri-ciri aliran existensialisme
adalah:
a)
manusia menyuguhkan dirinya (existere)
dalam kesungguhannya.
b)
manusia harus berhubungan dengan dunia.
c)
manusia merupakan kesatuan sebelum ada
perpisahan antara jiwa dan badannya
d)
manusia berhubungan dengan “yang ada”.
Hal di atas seperti dikatakan oleh
Martin Heidegger, bahwa persoalan tentang “berada” hanya dapat dijawab melalui
ontologi.Artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari
artinya dalam hubungan ini, maka agar berhasil harus dipergunakan metode “fenomenologis”.Jadi,
yang penting menemukan arti “berada” itu. Satu-satunya “berada” yang dapat
dimengerti sebagai “berada”, ialah “berada”-nya manusia.Catatan: harus
dibedakan antara “berada” (Sein) dan “yang berada” (Seinde)Ungkapan
“yang berada” (Seinde) hanya berlaku bagi benda-benda, yang bukan
manusia.Jadi, benda-benda itu hanya “vorhanden”, artinya: hanya
terletak begitu saja di depan orang, tanpa ada hubungannya dengan orang
itu.Keberadaan manusia disebut “Dasein”, artinya: “berada di
dalam dunia”.Oleh karena manusia “berada di dalam dunia”, maka manusia dapat
memberi tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya.
c. Persoalan nilai-nilai (dimensi aksiologis)
Persoalan dalam dimensi aksiologis
(nilai-nilai) memunculkan aliran aliran:
1.
Aliran
Hedonisme,
yaitu aliran
yang menganjurkan bahwa manusia untuk mencapai kebahagiaan yang didasarkan pada
kenikmakatn, dan kesenangan.
Tokohnya:
Epicurus (341-270 SM) yang menyatakan bahwa kesenangan dan kebahagiaan adalah
tujuan hidup manusia. Epikuros mengatakan, bahwa manusia harus
mengikuti tatanan dunia, tidak perlu takut mati, harus menggunakan kehendak
yang bebas dan mencari kesenangan sebanyak mungkin. Namun, jika terlalu banyak
kesenangan itu akan membuat sengsara. Oleh karena itu, manusia perlu membatasi
diri dengan mengutamakan batin
2.
Aliran Pragmatisme,
yaitu aliran yang menyatakan bahwa
tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kosekuensi-konsekuensi yang
menguntungkan.
Tokohnya,
yakni John Dewey (th. 1859-1952) mengatakan, bahwa kebenaran adalah
dimisalkan manusia sedang tersesat di tengah hutan. Kepada
diri sendiri manusia akan berkata dengan yakin bahwa “jalan keluarnya adalah ke
arah kiri”. Pernyataan ini akan berarti jika manusia benar benar melangkah ke
arah kiri. Selanjutnya, pernyataan ini benar apabila arah kiri itu pada
akhirnya mengakibatkan konsekuensi positif, yakni benar-benar dapat membawa
manusia tersebut keluar dari hutan itu. Jadi,
benar menurut pragmatisme bergantung pada kondisi-kondisi yang berupa (manfaat),
kemungkinan dapat dikerjakan (workability), dan konsekuensi yang
memuaskan (satisfactory results)
Referensi:
Marsigit, 2007. Dissertation:
The Role of Kant’s Theory of Knowledge in Setting up The Epistemological
Foundation of Mathematics. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Muhadjir, Noeng.
2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rakesarasin.
Suparno. Paul.
1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar